Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah dinilai tengah berada dalam posisi dilematis dalam merespons tuntutan kenaikan upah minimum buruh dan wacana penyesuaian pendapatan tidak kena pajak (PTKP).
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menilai, kedua kebijakan tersebut sama-sama berisiko jika tidak dirumuskan secara hati-hati.
Menurut Ariawan, tuntutan buruh atas kenaikan upah minimum merupakan hal yang wajar, mengingat tekanan biaya hidup yang terus meningkat.
Ia mencontohkan kondisi di DKI Jakarta, di mana upah minimum provinsi (UMP) tahun 2025 telah mencapai Rp 5.396.760 per bulan. Dengan PTKP lajang yang setara Rp 54 juta per tahun atau sekitar Rp 4,5 juta per bulan, pekerja lajang dengan upah minimum sudah masuk kategori wajib pajak.
Baca Juga: PTKP Tak Naik, Waspada Ancaman Bracket Creep bagi Kelas Menengah
"Artinya, di tengah kebutuhan pokok yang semakin melonjak, angka PTKP Rp 54 juta memang sudah tidak lagi relevan dengan kondisi biaya hidup saat ini," ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Selasa (16/12).
Ia menilai, penyesuaian PTKP menjadi langkah mendesak untuk menghindari pengenaan pajak pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
"Penyesuaian PTKP memang mendesak untuk dilakukan. Ini untuk menghindari pengenaan pajak pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah," katanya.
Namun di sisi lain, pemerintah juga menghadapi risiko besar apabila kenaikan UMP dan PTKP dilakukan secara bersamaan dan agresif.
Menurutnya, jika UMP dan PTKP naik bersamaan, maka negara berisiko menghadapi gangguan pada basis produksi industri.
"Kalau industri tidak jalan, ujung-ujungnya angka pengangguran naik, penerimaan pajak makin melemah," tegasnya.
Dalam kondisi tersebut, Ariawan mendorong pemerintah mencari jalan tengah atau win-win solution. Ia berpendapat, prioritas utama sebaiknya diberikan pada kenaikan PTKP agar take home pay atau pendapatan riil buruh meningkat.
Ia mengingatkan, kenaikan upah yang terlalu agresif kerap diikuti oleh kenaikan harga barang dan jasa, sehingga pada akhirnya daya beli buruh kembali tergerus.
Di sisi lain, perusahaan juga menghadapi beban biaya operasional yang lebih besar.
"Maka jalan tengahnya adalah segera naikkan PTKP agar pendapatan riil buruh meningkat, kemudian membangun dialog dengan kalangan pekerja terkait kenaikan UMP yang ideal bagi kedua belah pihak," imbuh Ariawan.
Ariawan menilai, kombinasi kenaikan PTKP dengan penyesuaian UMP yang lebih moderat dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian secara keseluruhan.
Peningkatan pendapatan disposabel rumah tangga dinilai tetap mampu memberikan kompensasi penerimaan negara melalui efek pengganda perputaran ekonomi, terutama dari pajak konsumsi seperti pajak pertambahan nilai (PPN).
Untuk diketahui, besaran PTKP tercatat tidak mengalami perubahan sejak terakhir kali dinaikkan pada 2016.
Selama hampir satu dekade, PTKP untuk wajib pajak orang pribadi tetap berada di angka Rp 54 juta per tahun, meskipun inflasi dan biaya hidup terus meningkat.
Baca Juga: Keputusan UMP 2026 Dinilai Lambat, Pengamat: Dapat Diputuskan Melalui Gubernur
Selanjutnya: Ada ETF Emas, Pasar Modal Syariah Berpotensi Makin Merekah pada Tahun 2026
Menarik Dibaca: Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok (17/12) di Jabodetabek, Hujan Lebat & Angin Kencang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













