Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah baru saja menaikkan harga beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM) seperti Pertamax series, dex series, serta biosolar non subsidi.
Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan kenaikan harga BBM non subsidi ini bisa mengerek inflasi. Hingga akhir tahun, ia memperkirakan inflasi bisa bertengger sekitar 3,5%-3,7%.
Sementara, perkiraan sementara inflasi di Oktober akan sebesar 0,1%-0,15%. Inflasi pada Oktober ini diperkirakan mulai naik karena ada penyesuaian harga BBM non subsidi.
"(Inflasi) November dan Desembernya akan tinggi. Ada faktor seasonal natal dan tahun baru dimana permintaan barang biasanya naik, kemudian imported inflation mulai terasa akhir tahun dan BBM non subsidi tidak menutup kemungkinan kembali disesuaikan dua bulan terakhir," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Kamis (11/10).
Menurut Bhima, penyesuaian harga BBM khususnya BBM non subsidi akan berpengaruh besar ke pengeluaran masyarakat kelas menengah di perkotaan. Adanya kenaikan ini menyebabkan tarif angkutan naik, biaya produksi bahan kebutuhan pokok naik, yang akhirnya mengikis daya beli masyarakat.
Dia menambahkan, jika inflasi mulai naik ditambah imported inflation akibat pelemahan kurs rupiah, masyarakat akan menahan belanja kebutuhan lainnya. "Konsumsi rumah tangga terancam melambat di bawah 5%, pertumbuhan ekonomi juga diperkirakan maksimum 5,1% tahun ini," tutur Bhima.
Menurutnya, sektor usaha yang akan terkena dampak langsung adalah ritel fast moving consumer goods (FMCG) skala menengah besar, grosir barang elektronik, dan industri kendaraan baik mobil dan motor. Pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor akan alami penurunan karena masyarakat memilih untuk menghemat BBM. Bhima melihat, outlook otomotif hingga 2019 masih belum positif.
Bhima menjelaskan, kenaikan harga BBM inijuga akan berpengaruh ke defisit transaksi berjalan (CAD). Tetapi masih ada jeda (lag). Indef memperkirakan, CAD hingga akhir tahun berkisar 3% dari PDB. "Bahkan, melihat defisit migas melebar bisa 3,1% (dari PDB)," ujar Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News