Reporter: Siti Masitoh | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah masih melakukan sinkronisasi kebijakan pajak karbon sehingga pengenaannya belum bisa diterapkan pada 1 April 2022.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan, Saat ini, Kementerian Keuangan sedang menyusun berbagai aturan teknis pelaksanaan Pajak Karbon seperti tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon.
Sementara aturan lain seperti Batas Atas Emisi untuk subsektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan tata cara penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon pada pembangkit tenaga listrik akan ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM).
Seperti yang sudah diketahui, Pengaturan terkait pajak karbon sendiri diperkuat melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Tujuan utama pengenaan pajak karbon bukan hanya menambah penerimaan APBN semata, melainkan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
Baca Juga: Penerapan Pajak Karbon 1 April 2022 Ditunda, Ini Alasan Pemerintah
“Pengenaan pajak karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon,” tutur Febrio dalam keterangan resminya, Jumat (1/4).
Adapun, agar instrumen pengendalian iklim berjalan optimal, di saat yang bersamaan, Pemerintah juga sedang menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres 98/2021 antara lain terkait tata laksana penyelenggaraan NEK dan NDC di Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
“Isu iklim merupakan isu lintas sektor. Koordinasi akan terus kami jaga dan perkuat agar peraturan yang melengkapi satu sama lain dapat mengoptimalisasi upaya pemerintah dalam mengendalikan perubahan iklim,”lanjut Febrio.
Lebih lanjut, rencana pengenaan pajak karbon ini sejalan dengan komitmen kuat pemerintah untuk menanggulangi perubahan iklim. Hal ini karena secara geografis, Indonesia menjadi salah satu negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Oleh karena itu, Indonesia Indonesia sendiri, di tingkat global, telah menyampaikan komitmennya pada Paris Agreement dengan menetapkan target penurunan emisi atau Nationally Determined Contributions (NDC) sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Komitmen yang semakin kuat tersebut ditunjukkan dengan pembaruan Dokumen NDC Indonesia pada 2021 di mana Pemerintah Indonesia menambahkan sektor kelautan dan perikanan serta kontribusi dari sisi adaptasi.
Selain itu, pemerintah juga menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy For Low Carbon Climate Resilience/LTS-LCCR) di tahun 2050 dan target Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
“Berbagai upaya dan komitmen yang diperbarui menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, kita perlu mengoptimalisasi seluruh instrumen yang ada termasuk pendanaan APBN maupun swasta,” imbuh Febrio
Secara umum, upaya mengatasi dampak perubahan iklim dikelompokkan menjadi aspek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Aspek mitigasi menekankan pada upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), sementara upaya adaptasi perubahan iklim memprioritaskan upaya menurunkan kerentanan iklim (climate vulnerability) dan meningkatkan ketahanan iklim (climate resilience).
Baca Juga: Batal April, Pungutan Pajak Karbon Berlaku Juli 2022
Seluruh upaya tersebut membutuhkan dukungan dari sisi pendanaan baik melalui skema belanja pemerintah (APBN/APBD) maupun sumber-sumber pendanaan lainnya yang sesuai regulasi.
Untuk lebih mendorong penguatan kapasitas pendanaan terkait iklim, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang mengatur skema carbon pricing (carbon trading dan carbon offset), pembayaran berbasis kinerja (result-based payment/RBP), pungutan atas karbon seperti pajak karbon dan PNBP, serta mekanisme lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News