Reporter: Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemperin) mengatakan baru 31% dari total sektor industri manufaktur yang memiliki daya saing pada masyarakat ekonomi Asean yang akan dimulai akhir tahun depan. Menyiasati hal tersebut, Kemperin membagi dua sektor industri untuk perluas pasar (ofensif) di luar negeri dan pertahankan pasar dalam negeri (defensif).
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, daya saing industri manufaktur nasional dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) baru mencapai 31%. "Jadi dari sekian banyak pos tarif sektor industri, baru sekitar 31% dari total tersebut yang bisa dinyatakan siap dan berdaya saing di MEA," ujarnya pada Rabu (2/7).
Harjanto, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur kemperin mengatakan, baru terdapat 1.250 pos tarif atau sekitar 31,26% dari total 3.998 pos tarif yang terdiri dari berbagai sektor industri manufaktur yang dinyatakan siap bersaing saat MEA. "Sisanya masuk dalam kategori rendah, dan diperkirakan bakal mengalami kesulitan saat MEA dilaksanakan," ujarnya. Adapun pos-pos tarif tersebut terdiri dari sektor industri logam, tekstil, kimia dasar, dan aneka industri.
Ia menjelaskan penghitungan daya saing itu dilakukan dengan menghitung nilai ekspor, impor dan penghitungan indeks dan tren dari Revealed Competitive Advantage (RCA). Setelah menghitungnya, kemperin melakukan pemetaan pos tarif sektor industri manufaktur tersebut dalam empat kelompok yaitu sektor industri kelompok K1, K2, K3, K4.
Kelompok K1 memiliki nilai paling tinggi. Adapun indikatornya adalah memiliki ekspor di atas US$ 10 juta dan impor di bawah US$ 5 juta dan memiliki indeks dan tren RCA positif. Sementara kelompok K2, memiliki indikator yang serupa dengan kelompok K1, namun memiliki tren RCA yang negatif. Sektor industri yang tergolong K1 dan K2 adalah industri logam, karet, tekstil, makanan dan minuman, serta otomotif.
Adapun untuk kelompok K3 adalah kelompok industri yang memiliki nilai ekspor dibawah US$ 10 juta dan impor diatas US$ 5 juta, dengan indeks RCA negatif namim tren RCA postif. Sementara itu untuk kelompok K4 adalah kelompok industri yang nilai ekspornya di bawah US$ 10 juta, dan impor di atas US$ 5 juta, serta memiliki indeks serta tren RCA yang negatif. Sektor industri yang masuk dalam kategori K3 dan K4 adalah industri semen, industri keramik dan industri pakaian jadi.
Hidayat mengatakan berdasarkan perhitungan tersebut pihaknya akan memilah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ofensif dan kelompok defensif. "Kelompok industri yang tergolong ofensif adalah kelompok industri yang kita andalkan untuk ekspansi dan rebut pasar luar negeri. Sedangkan kelompok industri defensif adalah kelompok industri yang kita andalkan untuk pertahankan pasar dalam negeri," terang Hidayat.
Kelompok industri yang tergolong ofensif adalah industri logam, karet, tekstil, makanan dan minuman, serta otomotif. Sedangkan kelompok industri yang defensif adalah industri garmen, alas kaki, semen dan keramik.
Hidayat mengatakan selain daya saing industri manufaktur yang masih rendah, daya saing Indonesia secara keseluruhan juga masih kalah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Merujuk pada World Economic Forum (WEF), daya saing Indonesia berada di urutan kelima di bawah Thailand, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura. "Penyebab mendasarnya adalah permasalahan infrastruktur," ujar Hidayat.
Meskipun masih memiliki daya saing yang belum maksimal, MEA tidak bisa dibatalkan. "Itu kesepakatan yang sudah terjadi jauh-jauh hari bertahun-tahun yang lalu. Tidak bisa dibatalkan," ujar Hidayat. Pihaknya akan memperbaiki tingkat daya saing di sisa waktu yang ada sebelum masa berlakunya MEA.
Franky Sibarani, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia mengatakan bahwa pada dasarnya industri manufaktur Indonesia memang tidak terlalu kuat. Pasalnya industri ini masih memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan itu adalah masih tingginya ketergantung industri dengan bahan baku impor, mahalnya biaya energi, mahalnya biaya logistik, mahalnya bunga bank untuk pendanaan, serta masalah pengupahan dan ketenagakerjaan. "Meskipun itu bukan indikator satu-satunya soal daya saing, tapi saya kira masalah-masalah inilah yang menghambat pertumbuhan daya saing industri," ujar Franky pada Minggu (6/7). Selain itu ia mengatakan ada kesan dari pemerintah tidak solid mempersiapkan Indonesia menghadapi MEA, dan ada kesan bahwa pemerintah menelantarkan pengusaha berjuang sendiri menghadapi MEA.
Ia mengatakan alih-alih ada wacana membatalkan MEA, Indonesia justru harus segera membenahi diri untuk meningkatkan daya saing. "Sulit untuk membatalkan MEA," ujar Franky. Untuk bisa mengejar daya saing Franky mengatakan pemerintah yang mendatang harus bisa membenahi hal-hal tersebut. "Dorong kebijakkan untuk kepastian bahan baku, biaya logistik murah, beban energi murah, dan bunga bank yang murah," ujar Franky
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News