kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Baru 42% lahan RI yang bersertifikat


Rabu, 24 Agustus 2016 / 20:52 WIB
Baru 42% lahan RI yang bersertifikat


Reporter: Agus Triyono | Editor: Adi Wikanto

Jakarta. Sebagian besar bidang tanah di Indonesia sampai saat ini belum bersertifikat. Berdasarkan hasil perhitungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, saat ini ada 100 juta bidang tanah, tapi sebagian besar belum bersertifikat.

Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN mengatakan, dari jumlah bidang tanah tersebut yang sudah tersertifikasi baru mencapai 42 juta- 43 juta bidang saja.

Presiden Joko Widodo memerintahkan, agar kementerian tersebut segera mensertifikasi lahan-lahan tersebut. Dia memberi target, dalam setahun setidaknya harus sudah tersertifikasi paling sedikit lima juta bidang tanah.

Perintah tersebut, dia keluarkan agar masyarakat kurang mampu, bisa dengan mudah mendapatkan akses tanah sehingga mereka bisa memperbaiki taraf hidupnya dan keluar dari jurang kemiskinan. "Banyak petani di desa, buruh tani yang tidak memiliki sertifikat lahan, mereka memiliki pendapatan rendah dan rentan terhadap kenaikan harga pangan, maka itu saya harap reforma agraria ini segera dijalankan supaya jadi cara baru atasi kemiskinan," katanya di Jakarta Rabu (24/8).

Sofyan mengatakan, untuk melaksanakan perintah tersebut, pihaknya akan mengeluarkan beberapa kebijakan. Salah satunya, menerapkan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terutang.

Penerapan ini dilakukan untuk mempercepat proses penerbitan sertifikat. Dengan penerapan BPHTB terutang tersebut, nantinya masyarakat yang membeli tanah atau bangunan tidak perlu membayar BPHTB.

BPHTB baru dibayarkan, setelah tanah bangunan tersebut digunakan untuk kepentingan komersial, atau dijual. Sofyan mengatakan, penerapan sistem tersebut dilakukan karena selama ini BPHTB dinilai membebani masyarakat, khususnya kurang mampu dalam mengurus sertifikat mereka.

Sebagai catatan, besaran BPHTB saat ini mencapai 5% dari nilai perolehan tanah dan bangunan yang menjadi obyek pajak. "Supaya efektif, di sertifikatnya nanti tertulis terutang. Jadi kalau dijual, baru dibayar BPHTB-nya," katanya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×