Reporter: Bidara Pink | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Dunia menilai partisipasi Indonesia dalam global value chain atau rantai nilai global masih belum maksimal. Ini disebabkan oleh Indonesia yang masih belum maksimal dalam mengembangkan produk perdagangan dan masih tingginya biaya transportasi.
Menurut Chief Economist East Asia and Pacific Bank Dunia Aaditya Mattoo, keikutsertaan Indonesia dalam rantai perdagangan dunia ini masih memiliki beberapa sisi yang bertolak belakang.
Aaditya menyebut Indonesia mencatat partisipasi yang tinggi dan berkembang sebagai negara pengekspor komoditas mentah untuk bahan baku negara lain dan ekspor kosmetik serta minyak pelumas.
Baca Juga: IMF pangkas pertumbuhan ekonomi global jadi 3,3%, bagaimana prospek Indonesia?
Hanya saja, partisipasi Indonesia dalam mengimpor bahan baku untuk nantinya diolah dan kembali diekspor dalam bentuk barang jadi dinilai masih rendah dan bahkan semakin melemah.
"Sebagai bukti, proporsi ekspor Indonesia untuk produk pakaian jadi, elektronik, dan suku cadang mobil ke negara-negar maju malah menurun. Sementara itu, negara-negara tetangga meningkat. Padahal, mengimpor untuk mengekspor merupakan inti dari global value chain," jelas Aaditya, Selasa (28/1) di Jakarta.
Selain itu, Aaditya juga melihat bahwa partisipasi ke depan (forward participation) Indonesia dalam mengirimkan komoditas mentah memang telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan berpotensi mengurangi kemiskinan, apalagi bila harga-harga komoditas tersebut sedang tinggi.
Namun, Indonesia masih menunjukkan pelemahan partisipasi ke belakang (backward participation) di Industri manufaktur sehingga ini tidak efektif dalam menopang kesuksesan yang telah dicapai.
"Serta transisi ke industri manufaktur dan jasa di tahap yan lebih maju, seperti yang telah dicapai oleh negara-negara jiran Indonesia," tambah Aaditya.
Selain itu, Bank Dunia juga melihat ada kendala bagi Indonesia dalam rantai perdagangan dunia disebabkan oleh tarif yang tinggi.
Terperinci, Aaditya mengungkapkan bahwa saat ini beban biaya inspeksi pra pengiriman Indonesia masih setara dengan 41 sen per dolar Amerika Serikat dari impor, selain itu ada juga beban biaya pemenuhan standard nasional Indonesia (SNI) sebanyak 29 sen, serta persetujuan impor sebanyak 13 sen.
Bahkan, pada tahun 2018, Bank Dunia menemukan bahwa lebih dari 60% nilai impor terkena dampak peraturan pelarangan impor. Ini meningkat cukup tajam dari tahun 2009 yang hanya mencatat sebanyak 20%.
Aaditya mengungkapkan kelemahan Indonesia dalam global value chain lainnya disebabkan oleh tingginya biaya transportasi yang disebabkan oleh rumitnya peraturan. Hal ini tercermin dari proses preclearance dan clearance untuk impor Indonesia yang memakan waktu 200 jam atau lima kali lipat lebih lama dibandingkan Malaysia.
Baca Juga: World Bank cuts Thailand 2020 GDP growth outlook to 2.7%
Selain itu, tingginya biaya transportasi juga disebabkan oleh distorsi harga pelabuhan (port pricing) yang tercermin dari biaya penggunaan fasilitas pelabuhan (port dues) di Tanjung Priok yang tercatat lima kali lipat lebih banyak dari port dues pelabuhan di Singapura dan 2,5 kali lipat dari pelabuhan di Yangon.
"Tak hanya itu, lembaga yang menjaga persaingan di Indonesia pun termasuk yang terlemah di dunia," tambah Aaditya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News