kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Aturan pajak atas PPnBM picu kontroversi


Rabu, 03 Juni 2015 / 11:23 WIB
Aturan pajak atas PPnBM picu kontroversi
ILUSTRASI. Debat Cawapres Pemilu 2024 Perdana Dijadwalkan 22/12/2023, KPU Siapkan Hal Baru


Reporter: Adi Wikanto | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Diam-diam, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mulai menjalankan kebijakan baru dalam hal pemungutan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 atas penjualan barang sangat mewah. Namun, dalam pelaksanaan kebijakan ini, Ditjen Pajak kembali menurunkan batasan harga barang sangat mewah yang terkena pungutan PPh pasal 22.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 90/PMK.03/2015 tentang wajib badan tertentu sebagai pemungut PPh dari pembeli atas penjualan barang sangat mewah. Dalam kebijakan itu tertuang, barang sangat mewah antara lain properti seperti apartemen, kondominimun dan sejenisnya, serta rumah beserta tanah seharga lebih dari Rp 5 miliar.

Untuk melaksanakan kebijakan ini, Ditjen Pajak mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor 19/PJ/2015 tentang tata cara pemungutan PPh pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Di pasal 1 beleid ini menyebut  batasan harga properti yang terkena PPh pasal 22 adalah Rp 5 miliar.

Namun, pada pasal 2 menyatakan, harga dasar pengenaan PPh pasal 22 untuk produk properti itu adalah harga tunai atau cash keras yang sudah termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM). Asal tahu saja, besaran PPN adalah 10% dan PPnBM 20%.

Artinya, kebijakan itu menyatakan, harga jual properti yang bisa terkena PPh pasal 22 adalah kurang dari Rp 5 miliar. Hitung punya hitung, dengan dikurangi PPN dan PPnBM, maka harga dasar properti yang tergolong sangat mewah adalah Rp 3,5 miliar. Dampaknya, jika asumsi ini benar, aparat pajak akan mengenakan PPh pasal 22 sebesar 5% dari harga properti senilai Rp 3,5 miliar, bukan Rp 5 miliar.  

Belum ada sosialisasi atas beleid ini. Namun, perdirjen yang diundangkan pada 20 Mei 2015 ini menyebut semua ketentuan berlaku efektif mulai 30 Mei 2015. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Mekar Satria Utama belum bisa memberi penjelasan. "Akan saya cek dulu," kata Mekar, Selasa (2/6).

Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, memastikan, Perdirjen 19/2015 inkonsisten dan menyalahi PMK 90/2015.

Kebijakan tersebut juga tak sejalan dengan upaya Bank Indonesia (BI) yang memperlonggar kredit properti. "Ini bakal menimbulkan polemik," kata Prastowo.

Prastowo meyakini, Ditjen Pajak sengaja membuat aturan itu menyimpang dari induknya. Soalnya, dari awal Ditjen Pajak menginginkan penurunan batasan harga yang lebih rendah demi memperluas basis pajak demi meraih target pajak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×