kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Aturan izin pertambangan rakyat dalam revisi UU Minerba diminta diperketat, kenapa?


Rabu, 29 April 2020 / 22:19 WIB
Aturan izin pertambangan rakyat dalam revisi UU Minerba diminta diperketat, kenapa?
ILUSTRASI. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif (kedua kanan) bersama Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita (kanan) mengikuti rapat kerja bersama Komisi VII DPR tentang Pembahasan Tingkat I RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009


Reporter: Dimas Andi | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memasukan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sebagai salah satu isu pokok yang dibahas di dalam Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara No. 4 Tahun 2009 atau RUU Minerba.

Sebagai informasi, berdasarkan draf RUU Minerba pasal 67, pemerintah daerah dapat memberikan IPR kepada penduduk setempat, baik kelompok masyarakat ataupun koperasi.

Masih di pasal yang sama, pemberian IPR kepada kelompok masyarakat dan koperasi memiliki sejumlah syarat, seperti penggunaan peralatan teknis pertambangan yang sederhana serta memiliki kedalaman tertentu yang disesuaikan dengan jenis komoditas pertambangan.

Baca Juga: Ini isu pokok dan pendukung dalam Revisi UU Minerba

Di dalam pasal 68 RUU Minerba juga dijelaskan bahwa luas wilayah satu IPR untuk kelompok masyarakat paling banyak 5 hektare, sedangkan koperasi mencapai 10 hektare. Adapun IPR diberikan untuk jangka waktu maksimal 10 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun.

Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, pembahasan IPR dimaksudkan agar kegiatan pertambangan di kalangan masyarakat lokal menjadi lebih eksis lagi.

“Keberadaan IPR sebagai wujud keberpihakan negara kepada rakyat. Tapi ini jangan sampai meleset. Ada IPR tapi yang mengelola orang-orang luar,” terang dia dalam diskusi daring, Rabu (29/4).

Ia melanjutkan, meski berstatus sebagai tambang rakyat, tetap saja tata cara pelaksanaannya harus memakai kaidah tambang yang baik. Laporan mengenai kegiatan pertambangan rakyat pun harus transparan supaya pemerintah tidak memperoleh data cadangan dan produksi minerba yang sifatnya hanya dugaan saja.

Pada dasarnya, IPR tidak sembarangan begitu saja diterbitkan oleh pemerintah daerah. Ini mengingat kelompok masyarakat yang dimaksud dalam RUU Minerba adalah mereka yang memiliki keterbatasan dalam teknologi pertambangan.

“Kalau sudah pakai alat berat, bukan rakyat lagi namanya. Tidak bisa diberikan IPR,” kata Bambang.

Baca Juga: Pembahasan terus berlangsung, Kementerian ESDM jelaskan urgensi reviis UU Minerba

Menurutnya, pengawasan dari pemberi izin IPR harus seteliti mungkin. Hal ini untuk menghindari adanya oknum-oknum yang melakukan penambangan ilegal dengan mengatasnamakan rakyat.

Senada, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, pemerintah harus fokus memperketat aturan soal IPR dalam RUU Minerba.

Sebab, tidak menutup kemungkinan IPR disalahgunakan oleh kalangan tertentu. “Jangan sampai kedoknya rakyat, ternyata di belakangnya ada korporasi,” ujar dia, hari ini.

Ia juga menyarankan agar pemerintah tak hanya mengakomodasi aturan IPR saja, melainkan juga regulasi yang memberdayakan rakyat itu sendiri.

Dalam hal ini, masyarakat juga harus memiliki keterampilan dan wawasan yang luas soal dunia pertambangan minerba. Termasuk keterampilan untuk melakukan pemulihan atau reklamasi ketika kegiatan tambang telah usai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×