Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Daerah perbatasan yang seharusnya menjadi garda megah halaman depan sebuah negara ternyata belum terjadi di perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste. Daerah perbatasan ini jauh dari jangkauan pembangunan infrastruktur.
Salah satu kantor pemerintahan yang ada di wilayah ini adalah kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Pratama Atapupu. KPPBC ini membawahi sembilan kantor bantu dan pos pengawasan bea cukai di empat kabupaten Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Satu yang terbesar adalah Mota'ain. Mota'ain merupakan lintas batas darat yang menghubungkan Indonesia wilayah Kecamatan Tasifeto Timur Kabupaten Belu dengan Timor Leste wilayah Batugade-Distrik Bobonaro.
Namun, terbesar bukan berarti mempunyai infrastruktur yang memadai. Gedung serta sarana prasarana berikut sumber daya manusianya kalah jauh dibanding Timor Leste, negara yang baru saja merdeka.
Gedung bea cukai serta imigrasi Timor Leste sudah standar internasional. Memiliki pos penjaga bea cukai di bagian depan dan sudah menggunakan mesin x-ray. Pegawai custom bea cukainya sendiri berjumlah 12 orang.
Nah, bandingkan dengan Indonesia. Kantor bea cukai dengan jarak 16,6 kilometer dari Atapupu ini hanya memiliki empat pegawai bea cukai dan mereka melakukan pemeriksaan setiap harinya secara manual. Tidak heran apabila pemeriksaan barang masuk bisa memakan waktu berhari-hari.
Kepala Sub Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan Bea Cukai Wilayah Atapupu Samdyss mengatakan tantangan terbesar bagi pelaksanaan kegiatan sehari-hari adalah infrastruktur. Kalaupun ada mesin x-ray, listrik tidak kuat. Bahkan listrik bisa padam hingga tiga hari.
Mau menggunakan genset, bahan bakar minyak (BBM) langka. "Mesin x-ray pun lebih besar dari ruangan kita," ujarnya ketika KONTAN berkunjung ke Mota'ain pekan lalu.
Padahal, setiap harinya terjadi transaksi ekspor yang lumayan besar di Mota'ain. Rata-rata bisa mencapai delapan dokumen ekspor, yang berarti sekitar 50 ton ekspor Indonesia ke Timor Leste. Penduduk yang lalu lalang perbatasan pun mencapai 60 orang per harinya.
Karena kurangnya jumlah pegawai, ekspor ilegal pun marak terjadi. Yang paling banyak diselundupkan adalah BBM dengan rute jalan tikus melewati pantai ataupun gunung di malam hari. Masyarakat Indonesia banyak yang menjual BBM ke Timor Leste karena keuntungan yang didapat lumayan besar. "Mereka jual pakai dollar," tutur Kepala Sub Seksi Penindakan dan Penyilidikan Bea Cukai Atapupu Dickson Adi Papy.
Pemerintah pusat mengakui minimnya infrastruktur Atapupu. Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJPBC) Susiwijono Moegiarso mengatakan seharusnya perbatasan Indonesia dan Timor Leste bisa diberi perhatian lebih.
Berbeda dengan perbatasan Kalimantan dan Malaysia yang lebih banyak aktivitas impor dari Malaysia, aktivitas yang terjadi antara Indonesia dan Timor Leste lebih banyak ekspor yaitu mencapai 90%. Setiap harinya Indonesia mengekspor kebutuhan pokok konsumsi seperti indomie dan bahan bangunan seperti semen.
DJBC akan mendorong Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) untuk mendorong pembangunan perbatasan Timor Leste. "Berbicara ekonomi makro, harusnya di sini difasilitasi karena berorientasi ekspor," imbuh Susiwijono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News