Reporter: Herry Prasetyo, Anastasia Lilin Y | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Bagi negara-negara anggota ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bagaikan hajatan besar menuju liberalisasi pasar di kawasan Asia Tenggara. Sudah pasti, setiap negara ASEAN sibuk bersiap diri. Apalagi, tenggat waktu MEA kurang dari setahun.
Sebagian orang lebih senang mempersiapkan hajatan sejak jauh-jauh hari. Tapi, ada pula penyelenggara acara yang baru bersiap kala hari H sudah dekat. Pemerintah kita sepertinya termasuk dalam kategori kedua. Tengok saja, geliat persiapan menghadapi MEA hingga saat ini tidak terasa gaungnya.
Memang, pemerintah sudah merilis Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 Tahun 2011 yang mengatur pelaksanaan komitmen cetak biru MEA. Namun, rancangan inpres mengenai persiapan dan strategi tiap sektor menghadapi perdagangan bebas regional itu tak kunjung terbit hingga saat ini. Padahal, calon beleid ini seharusnya sudah terbit tahun lalu.
Dalam cetak biru MEA, ada 12 sektor prioritas yang akan diintegrasikan. Sektor tersebut terdiri dari tujuh sektor barang yakni industri agro, elektronik, otomotif, perikanan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, dan tekstil. Sisanya adalah lima sektor jasa yaitu transportasi udara, pelayanan kesehatan, pariwisata, logistik, serta industri teknologi informasi alias e-ASEAN. Sektor-sektor prioritas inilah yang nantinya akan diimplementasikan dalam bentuk pembebasan arus barang, jasa, investasi, dan juga tenaga kerja terampil.
Untuk menghadapi MEA, tiap negara pun berlomba mempersiapkan diri. Edy Putra Irawadi, Deputi Bidang Perniagaan dan Kewirausahaan Kementerian Koordinator Perekonomian, mengatakan, semua negara ASEAN saat ini tengah berupaya memperluas kegiatan ekonomi. Prioritasnya: mengundang investasi dan menghilangkan hambatan arus barang.
Singapura, misalnya, sudah membikin kawasan khusus teknologi. Thailand mengembangkan kawasan perdagangan bebas untuk menghilangkan hambatan arus barang. Di sektor logistik, Malaysia gencar membangun pelabuhan, Thailand mengembangkan kepabeanan, dan Filipina membangun sumber daya manusia (SDM).
Lalu, apa yang sudah Indonesia siapkan? Edy menyatakan, pemerintah tengah membahas strategi tiap sektor untuk mengantisipasi dampak dari MEA. La, kok, masih dibahas?
Namun, Edy bilang , ada dua kunci penting yang sejatinya perlu disiapkan. Pertama, memperkuat integrasi ekonomi domestik. Kedua, meningkatkan daya saing global, baik dari sisi SDM, skala usaha, maupun produk dan jasa kita.
Haris Munandar, Kepala Pusat Pengkajian Kebijakan dan Iklim Usaha Industri Kementerian Perindustrian (Kemperin), mengamini peningkatan daya saing merupakan langkah penting. Itu dilakukan melalui penguatan struktur industri dan peningkatan iklim usaha.
Langkah antisipasi
Layaknya bermain sepakbola, Kemperin menerapkan strategi menyerang sekaligus bertahan. Ada sembilan sektor industri yang menjadi andalan untuk meningkatkan penetrasi ke pasar ASEAN: agro, perikanan, tekstil, alas kaki, furnitur, petrokimia, mesin, dan logam. Sementara, ada tujuh sektor industri di dalam negeri yang harus diamankan: otomotif, elektronik, semen, garmen, alas kaki, makanan dan minuman, serta furnitur. “Memang ada sektor yang sekaligus harus penetrasi pasar tapi juga harus dilindungi agar tak tergerus barang impor,” kata Haris.
Untuk memperkuat struktur industri, Kemperin mendorong pemberian insentif untuk usaha tertentu. Khususnya sektor usaha yang selama ini masih tergantung impor seperti sektor barang perantara. Insentif juga diperlukan untuk mendorong investasi, supaya ekspor semakin meningkat. Salah satunya, dengan menyederhanakan aturan pembebasan pajak penghasilan atawa tax holiday.
Untuk menghadapi lonjakan impor, Kemperin menyiapkan sistem peringatan dini berupa bea masuk tindakan pengamanan (BMTP). Sehingga, industri di dalam negeri tetap terlindungi. Selain itu, Kemperin juga telah menambah daftar barangbarang yang wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Upaya ini termasuk untuk melindungi konsumen di dalam negeri. “Langkah ini juga untuk mengawasi barang beredar di pasar lokal karena banyak produk dari luar masuk secara ilegal,” ujar Haris.
Tak mau kalah, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga fokus pada peningkatan daya saing produk perikanan. Jurusnya, dengan meningkatkan kualitas dan keamanan pangan, agar produk perikanan kita bisa bersaing dengan produk negara lain. Tak cuma itu, KKP juga mendorong pelaku usaha membikin produk olahan bernilai tambah untuk mendongkrak daya saing. “Kita banyak ekspor barang mentah dan impor produk olahan,” kata Achmad Poernomo, Staf Ahli Kebijakan Publik KKP.
Achmad menyatakan, pasar produk perikanan Indonesia sebetulnya bukan ASEAN melainkan Eropa dan Amerika. Dengan meningkatkan produk olahan, pelaku usaha sekaligus mencegah negara ASEAN lain memperoleh bahan baku dari Indonesia untuk diolah dan diekspor lagi. Thailand, contohnya, memiliki sumber daya perikanan lebih kecil ketimbang Indonesia. Tapi, ekspor perikanan Thailand hampir dua kali lipat Indonesia. “Ekspor Vietnam saja sudah mengalahkan kita,” kata Achmad.
Lalu, untuk mengamankan pasar dalam negeri, KKP akan menguatkan jaringan distribusi ikan ke seluruh Indonesia. Sebab, jaringan di Indonesia lemah. Buktinya, biaya angkut ikan dari Makassar ke Surabaya lebih mahal ketimbang biaya angkut dari Jakarta ke Tokyo. Karena itu, KKP membentuk sistem logistik ikan nasional agar daerah perbatasan tidak perlu meminta suplai produk ikan dari negeri tetangga.
Standardisasi layanan
Sistem logistik di Indonesia memang lemah. Dibanding Singapura, Malaysia, dan Thailand, negara kita cukup tertinggal. Makanya, guna menghadapi MEA, pemerintah telah mempersiapkan langkah antisipasi. Pertama, memperkuat Pelabuhan Kuala Tanjung dan Pelabuhan Bitung untuk melayani perniagaan dari Atlantik dan Pasifik. Dengan berlakunya asas cabotage mulai tahun depan, distribusi ke daerah bisa dilayani oleh kapal nasional. Kedua, meningkatkan kualitas SDM di sektor logistik dengan membikin pendidikan sertifi kasi. “Banyak SDM di sektor logistik tidak memiliki sertifi kat internasional,” ujar Edy.
Persoalan SDM juga menjadi tantangan sektor pariwisata. Firmansyah Rahim, Direktur Jenderal Pengembangan Destinasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemparekraf), dengan pembebasanarus tenaga kerja, SDM pariwisata di Indonesia harus memiliki sertifi kat kompetensi. “Kalau tidak industri pariwisata kita akan diisi tenaga kerja asing,” imbuh Firman.
Sebab itu, Kemparekraf telah memberikan pendidikan sertifi - kasi kepada 50.000 orang dari sekitar 6 juta tenaga kerja di sektor pariwisata. Selain itu, Kemenparekraf juga memperbanyak lembaga sertifi kasi profesi dan penguji ujian sertifikasi. Tujuannya. “Supaya makin banyak tenaga kerja yang punya sertifi kat,” kata Firman.
Standardisasi dan sertifi kasi SDM juga dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemkes). Tidak berhenti di situ, Kemkes sudah berupaya menstandardisasi fasilitas dan pelayanan kesehatan sesuai akreditasi rumahsakit internasional. Alat kesehatan juga diharuskan berstandar internasional.
Sekretaris Jenderal Kemkes Supriyantoro menuturkan, Singapura dan Malaysia masih menjadi pesaing berat dalam pelayanan kesehatan di kawasan. Apalagi, Indonesia termasuk negara dengan alokasi anggaran kesehatan paling sedikit. Untuk bersaing dengan Singapura, “Kami sedang menggalakkan health tourism yang mengombinasikan antara kesehatan dan pariwisata,” ujar dia.
Untunglah, sektor transportasi udara bisa dikatakan sudah siap menghadapi MEA. Bambang S. Ervan, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan (Kemhub), menegaskan, pemerintah sudah mendorong maskapai nasional untuk ekspansi ke luar negeri dan bersaing di jalur internasional. Kemhub telah menyiapkan lima bandara terbuka untuk menghadapi penerbangan bebas ASEAN alias open sky, yakni bandara di Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Denpasar. Cuma, “Penerbangan domestik tidak dibuka untuk maskapai asing, sehingga akan menguntungkan maskapai nasional,” tegas Bambang.
Tengku Burhanudin, Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carrier (Inaca), mengamini, MEA akan membikin pasar penerbangan domestik berkembang. Maskapai lokal pun sudah siap menghadapi MEA.
Hanya, Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Thomas Darmawan berpesan, semua pemangku kepentingan harus segera membenahi integrasi produksi hingga pengolahan produk perikanan. Kalau tidak, sektor perikanan Indonesia akan semakin terpuruk saat MEA. “Thailand punya pengaturan zonasi produksi dari pembibitan hingga pengolahan, sementara Malaysia memberi subsidi BBM untuk nelayan,” beber Thomas.
Barangkali, banyak hal sudah disiapkan. Namun, tanpa perbaikan mendasar di infrastruktur dan energi, sulit bagi industri kita bersaing dengan negara tetangga. Tanpa diminta, pelaku usaha, toh, akan mengembangkan produk dan meningkatkan daya saing sendiri.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 19 - XVIII, 2014 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News