Reporter: Edy Can | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Front Pembela Internet (FPI) bersama Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mendaftarkan gugatan uji materi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor telekomunikasi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
FPI dan APJII menilai ada dua UU dalam PNBP yang inkonstitusional dan dinilai melanggar hak berusaha dan hak mendapatkan informasi. Dua UU itu yakni Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP) dan Pasal 16 dan Pasal 26 Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi).
Dengan adanya pasal-pasal tersebut membuat industri telekomunikasi dikenakan berbagai macam PNPB. Yakni, Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) frekuensi, Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) telekomunikasi, Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) jasa telekomunikasi, dan Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) konten.
Industri telekomunikasi, khususnya penyedia jasa internet, merasa dengan adanya berbagai BHP tersebut menjadi terbebani. Selain itu, rumusan tarif BHP jasa telekomunikasi juga dinilai tidak fair, karena dihitung 1% dari pendapatan kotor (revenue).
Sedangkan pajak pendapatan badan saja dihitung berdasarkan keuntungan (pendapatan dikurangi pengeluaran). Selain itu, pendapatan-pendapatan dari usaha sampingan, yang sebenarnya dari usaha non-telkomunikasi, juga dihitung sebagai revenue yang menjadi objek BHP.
“Problem hukumnya adalah, besaran dan tarif BHP itu ditentukan sesuka-sukanya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika,” kata Ketua APJII, Sammy Pangarepan dalam keterangan tertulisanya, Jumat (17/1).
Sammy menyoroti pasal 2 dan pasal 3 UU 20/1997 tentang PNBP, yang mengatakan bahwa jenis dan tarif PNPB selain yang disebut dalam UU tersebut dapat diatur melalui Peraturan Pemerintah. Menurutnya hal itu inkonstitusional karena bertentangan dengan pasal 23A UUD 1945 yang mengatakan “pajak dan segala pungutan memaksa lainnya diatur dengan Undang-undang”.
“PNPB adalah salah satu pungutan memaksa, maka tak boleh diatur oleh PP,” ujarnya lagi.
Akibatnya PNPB, membebani industri terlalu berat karena banyaknya berbagai pungutan oleh pemerintah sehingga mengakibatkan “ekonomi biaya tinggi”. Pungutan-pungutan ini bukan hanya mengurangi keuntungan, tapi juga membuat industri sulit berkembang dan berekspansi. Bahkan ada 12 perusahaan penyelenggara jasa internet yang ditutup oleh Kemkominfo karena tidak mampu membayar BHP.
Selain itu, hal ini juga berdampak bagi masyarakat secara umum. Dengan adanya berbagai pungutan, tentunya masyarakat sulit untuk menikmati internet dengan harga murah. Hal ini menimbulkan kesenjangan digital, yaitu kesenjangan terhadap akses internet antara warga yang mampu dan kurang mampu.
Sebagai gambaran, saat ini pengguna internet Indonesia baru mencapai sekitar 20% dari masyarakat Indonesia. Artinya, 80% masyarakat Indonesia belum menikmati akses internet.
Dengan ini FPI dan APJII berharap uji materi ini menjadi perhatian MK. “Kami meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mempertimbangkan penundaan pungutan BHP Telekomunikasi selama proses hukum di MK ini berlangsung. Kami juga meminta DPR RI menunda pembahasan RUU Penerimaan Negara Bukan Pajak (RUU PNBP) yang masuk dalam daftar prolegnas 2014 selama proses hukum berlangsung,” ujar perwakilan FPI, Suwandi Ahmad.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News