Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – BALIKPAPAN. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menilai iklim investasi di tanah air cukup positif sepanjang tahun 2024. Hal tersebut terbukti dari realisasi investasi hingga kuartal III-2024 yang diyakini mencapai target yang ditetapkan sebesar Rp 1.650 triliun.
Asal tahu saja, sepanjang Januari-September 2024 realisasi investasi tembus Rp 1.261 atau sebesar 76,45% dari target yang dipatok presiden ke-7 Joko Widodo sebesar Rp 1.650 triliun di tahun ini.
Adapun investasi asing alias Foreign Direct Investment (FDI) mendominasi realisasi tersebut yang mencapai 51,9%.
“Ini karena pasar dan investor masih melihat ekonomi Indonesia relatif stabil meskipun memiliki banyak downside karena tekanan ekonomi global dan proses transisi kepemimpinan domestik,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (20/12).
Baca Juga: Pengusaha: Indonesia Tetap Jadi Surga Investasi Bagi Investor Asing
Meski demikian, Shinta mengungkapkan, hambatan investasi di Indonesia masih dibayangi oleh isu klasik yakni ketidakpastian dan ketidakterkendalian regulasi iklim usaha serta gap implementasi antara kebijakan investasi dengan realitas di lapangan.
Selain itu, pihaknya juga melihat investasi di sektor manufaktur non-hilirisasi juga tidak banyak berkembang sebab kurangnya dukungan iklim usaha sektoral.
Padahal, di kawasan terdapat tren investasi berbasis rantai nilai (global value chain/GVC) yang didorong tren China yang semakin tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi, kata dia, Indonesia tidak bisa menangkap peluang tersebut.
“Justru yang berhasil memperoleh investasi tersebut adalah negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia,” terang Shinta.
Baca Juga: Perang Dagang AS-China Jadi Peluang Untuk RI Masuk Rantai Pasok Global
Shinta menuturkan, potensi investasi Indonesia di tahun 2025 cenderung lebih tinggi ketimbang tahun 2024. Katanya, ini karena risiko krisis global jauh lebih rendah dan banyak negara diperkirakan akan berhasil mengendalikan inflasinya di 2025.
Dengan demikian, menurut Shinta potensi pengetatan moneter di 2025 relatif tinggi, meskipun diperkirakan akan terjadi secara bertahap.
“Ini akan menciptakan peluang penerimaan FDI yang semakin tinggi bagi Indonesia bila kita memiliki iklim usaha/investasi yang tidak hanya stabil, tetapi juga bersaing di kawasan. Kalau tidak, ya potensi ini akan diserap negara lain,” tuturnya.
Di samping itu, lanjutnya, resiko buruk investasi yang perlu diwaspadai ke depan terkait ketidakpastian kebijakan perdagangan global, khususnya potensi perubahan kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia dalam kepemimpinan Trump.
Menurutnya ini bisa berdampak negatif terhadap kinerja perdagangan atau ekspor dan investasi di tanah air, serta menciptakan peningkatan tekanan terhadap nilai tukar karena efek peningkatan kebutuhan terhadap dolar.
“Untuk itu, kami sangat berharap pemerintah bisa melakukan terobosan kebijakan iklim usaha yang lebih baik dan lebih efektif di lapangan,” tandasnya.
Adapun terobosan yang diharapkan seperti kebijakan iklim usaha yang lebih baik dan lebih efektif di lapangan, yang memiliki efek penaingkatan efisiensi beban usaha, efisiensi beban birokrasi/perijinan usaha, peningkatan certainty dan predictability beban usaha dan keterbukaan terhadap perdagangan seperti ekspor-impor yang mendukung diversifikasi perdagangan.
“Ini perlu dilakukan pada iklim usaha/investasi sektor ekonomi hijau seperti EBT dan ekosistem EV serta sektor manufaktur yang berpotensi menyerap FDI cukup tinggi di 2025,” pungkasnya.
Selanjutnya: Setoran PNBP dari Perikanan Tangkap Capai Rp 980 Miliar
Menarik Dibaca: Ini Rekomendasi Tempat Liburan Akhir Tahun ala Airbnb
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News