Reporter: Siti Masitoh | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai membahas terkait penyusunan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025. Pemerintah menyebut APBN 2025 akan disusun hati-hati dan dipertajam dengan mempertimbangkan berbagai risiko yang kemungkinan terjadi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, proses penyusunan memang harus hati-hati mengingat APBN 2025 disusun saat proses transisi kepemimpinan presiden selanjutnya.
“Penyusunan ini sangat penting karena ada beberapa program yang akan dilanjutkan, yang belum selesai di era pak Jokowi itu tetap harus dijalankan, dan ini butuh anggaran yang tidak kecil,” tutur Bhima kepada Kontan, Rabu (14/2).
Baca Juga: Belanja Barang hingga Modal Diblokir
Adapun jika meninjau hasil penghitungan cepat alias quick count Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dari berbagai lembaga survei menunjukkan, paslon nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka unggul lebih dari 50%. Dari hasil survey tersebut, kemungkinan pemilu akan berlangsung satu putaran saja.
Bhima menyebut, jika pasangan Prabowo dan Gibran menang, anggaran tambahan yang dibutuhkan untuk program-program yang diusung seperti makan siang dan susu gratis membutuhkan anggaran yang besar.
Maka dari itu, diperlukan disiplin fiskal yang ketat untuk menentukan asumsi defisit APBN 2025 yang harus tetap berada di bawah 3%.
Disamping itu, kebutuhan anggaran yang besar juga akan membuat rasio penerimaan pajak lebih meningkat, dan rasio utang juga meningkat karena pemerintah harus menambah utang baru untuk memenuhi kebutuhan anggaran.
Baca Juga: Sri Mulyani Mulai Bahas APBN 2025, Pastikan Dipertajam dan Disusun Secara Hati-Hati
“Namun pemerintah harus tetap memperhatikan stabilitas ekonomi, serta tidak mengganggu program-program prioritas yang sudah ada sebelumnya. Ini dikhawatirkan semua program berjalan, program belanja rutin akan terganggu,” ungkapnya.
Lebih lanjut, pemerintah juga perlu menyusun kerangka ekonomi makro secara realistis mengingat situasi ekonomi global saat ini terutama mitra dagang utama Indonesia mengalami perlemahan dalam satu hingga 2 tahun ke depan.
“Jadi asumsi pertumbuhan, inflasi dan kurs harus dibuat lebih moderat dan realistis,” imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News