Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Krisis yang terpacu pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) membuat banyak pelajaran bagi Indonesia. Pemburukan ekonomi akibat sebaran virus corona ikut menyeret sektor keuangan, bahkan bukan mustahil memacu krisis ekonomi yang lebih dalam. Tak ingin kondisi itu berlangsung di tahun-tahun mendatang, pemerintah menyusun jaring pengaman dengan mengajukan Undang-Undang yang memperkuat stabilitas sistem keuangan.
Bersama DPR, pemerintah berupaya memitigasi kemungkinan terjadi krisis keuangan dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Sektor Keuangan atau RUU tentang Penanganan Permasalahan Perbankan, Penguatan Koordinasi, dan Penataan Ulang Kewenangan Kelembagaan Sektor Keuangan.
Dalam RUU yang didapat Kontan.co.id dilatarbelakangi beberapa masalah diterbitkannya beleid tersebut. Pertama, belum optimalnya pelaksanaan peran dan fungsi lembaga sektor keuangan antara lain karena regulatory forbearance dalam mengambil keputusan saat terjadi krisis, utamanya dalam sektor perbankan.
Baca Juga: LPS: Tak ada lagi lonjakan pertumbuhan simpanan di atas Rp 5 miliar
Sebagai contoh, terkait menyatakan kondisi bank gagal. Kondisi ini menyebabkan langkah penyehatan bank menjadi terhambat, bahkan bukan mustahil terlambat.
Hal tersebut disebabkan karena perbedaan pandangan mengenai penyehatan dan resolusi bank antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang justru berpotensi meningkatkan biaya penanganan menjadi lebih besar.
Kedua, pengawasan mikroprudensial dan makroprudensial yang masih terpisah, khususnya perbankan mengakibatkan koordinasi antar otoritas menjadi kurang cepat dan efektif. Terlebih apabila tidak diatur dalam suatu dasar hukum yang kuat.
Alhasil, pemerintah berencana segera membentuk Forum Pengawasan Perbankan Terpadu untuk penguatan koordinasi antarlembaga yang memiliki kewenangan, pengawasan, dan penyelesaian permasalahan di sektor keuangan, khususnya perbankan. Forum Pengawasan Perbankan Terpadu ini beranggotakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
“Forum bertugas merumuskan dan menetapkan indikator dan metodologi penilaian kondisi bank dengan menggunakan data dan informasi dalam sistem data dan informasi sektor keuangan terintegrasi dengan pendekatan proyeksi (forward looking),” sebagaimana dikutip dalam Pasal 4 RUU Penanganan Permasalahan Perbankan, Penguatan Koordinasi, dan Penataan Ulang Kewenangan Kelembagaan Sektor Keuangan yang diperoleh Kontan.co.id.
Dalam Forum Pengawasan Perbankan Terpadu, Dewan Komisioner OJK merangkap sebagai Kelapa Eksekutif Pengawas Perbankan sebagai koordinator, lalu diikuti satu anggota Dewan Gubernur BI, dan satu anggota Dewan Komisioner LPS, serta sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Pemerintah berharap, dengan kehadiran Forum Pengawasan Perbankan Terpadu nantinya bisa mengantisipasi potensi permasalahan perbankan secara lebih dini dan terkoordinasi. Koordinasi antarlembaga ini diperkuat dengan pembangunan dan pengembangan sistem data dan informasi sektor keuangan yang terintegrasi, sebagai single source of truth di sektor keuangan.
Penataan kewenangan lembaga sektor keuangan dirombak besar-besaran. Ada empat kewenangan LPS yang baru. Pertama, LPS diperkuat dengan mandat risk minimizer untuk melakukan penanganan bank lebih dini, dengan melakukan persiapan penanganan permasalahan bank dan penempatan dana.
Kedua, memperluas opsi pendanaan LPS dalam penanganan permasalahan bank. LPS berwenang untuk melakukan pengaturan resolution plan dan kebijakan single customer view. Adapun, LPS melaksanakan penjaminan simpanan berdasarkan kelompok nasabah.
Ketiga, dalam mengelola kekayaannya, opsi investasi LPS diperluas yakni pada surat berharga yang diterbitkan pemerintah negara asing (hard currency) dengan opsi maksimal 100% dari total kekayaan LPS.
Keempat, Ketua Dewan Komisioner LPS menetapkan keputusan akhir apabila musyawarah tidak tercapai mufakat dan bertanggung jawab kepada Presiden. Anggota Dewan Komisioner terdiri dari untur pihak independen atas usul Menteri Keuangan dan unsur ex-officio Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang diangkat oleh Presiden.
Baca Juga: Begini strategi bank besar menekan laju NPL di tengah pandemi
Sementara itu, penataan kewenangan OJK dalam RUU tersebut mempertegas peran otoritas untuk menetapkan status pengawasan dan kewenagan pada setiap tahapan status bank. Penguatan kewenangan OJK dalam koordinasi pengawasan perbankan terpadu sebagai koordinator Forum Pengawasan Perbankan Terpadu. Lalu, penegasan kewenangan OJK terkait kebijakan makroprudensial non-perbamkan.
OJK juga berhak memelihara data mengenai pemegang saham pengendali dan ultimate shareholder dalam rangka menjalankan kewenangan membatasi kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), komisaris, direksi, dan pemegang saham.
Kemudian, penguatan pengawasan secara terintegrasi termasuk konglomerasi keuangan di bawah Ketua Dewan Komisioner OJK. Selain itu, Ketua Dewan Komisioner OJK menetapkan keputusan akhir apabila musyawarah tidak mencapai mufakat dan dapat mengintervensi kebijakan eksekutif.
Baca Juga: Dongkrak permintaan kredit, begini saran OJK
Dari sisi BI, penataan kewenangan bank central dipertegal dalam hal kewenangan penetapan kebijakan makroprudensial perbankan harus sesuai dengan kesepakatan perumusan kebijakan dalam rapat KSSK. Kendati begitu, dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis, BI bisa membeli surat berharga negara jangka panjang di pasar perdana, mengatur devisa bagi penduduk, dan akses pendanaan korporasi melalui perbankan.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, penting untuk sektor keuangan punya landasar hukum yang kuat. Melalui RUU tersebut, Purbaya yakin Indonesia dapat mengantisipasi risiko krisis keuangan dalam jangka panjang.
“Misalnya 10 tahun ke depan akan seperti itu (krisis keuangan), maka kita sudah siap secara hukum. Penguatan LPS ini wajar-wajar saja, jadi penangananya (bank gagal) lebih efektif dan efisien. Sebab, LPS yang tau dan bertanggung jawab seberapa besar kekuatan uang di bank cukup atau tidak,” kata Purbaya kepada Kontan.co.id, Rabu (25/11).
Ekonom Senior Fauzi Ichsan berharap, RUU sektor keuangan dapat menjaga stabilitas sistem keuangan di masa mendatang. Dia menilai dengan adanya RUU itu wewenang LPS akan jauh di atas mayoritas LPS manca negara, seperti FDIC di AS dan DIA Russia.
Menurutnya, penguatan LPS sebagai pemegang putusan akhir permasahalan bank akan mempercepat eksekusi bank gagal. Sebab, rata-rata lembaga penjamin simpanan dan resolusi bank gagal hanya terlibat secara finansial jika bank bermasalah sudah dinyatakan gagal oleh pengawasnya, bukan due diligence.
Sementara hampir di seluruh yurisdiksi keuangan dunia, bantuan likuiditas adalah wewenang bank sentral sebagai lender of last resort, bukan LPS mau pun Kementerian Keuangan. Dalam hal ini, di banyak yurisdiksi Pinjaman Likuditas Jangka Pendek (PLJP) bank sentral dijamin pemerintah, sedangkan di Indonesia tidak.
Dus, klausul BI yang bertanggung jawab membeli SBN jangka panjang di pasar perdana untuk penanganan krisis dianggap wajar. “Yang penting penggunaannya berdasarkan koordinasi dengan OJK dan BI, dengan good governance, accountable, dan auditable untuk menghindari kriminalisasi kebijakan kelak nanti,” ujar Ichsan kepada Kontan.co.id, Rabu (25/11).
Baca Juga: Dongkrak permintaan kredit, OJK: Dorong penyaluran kredit korporasi
Di sisi lain, pemerintah mengklaim tak hanya soal reformasi struktural sektor keuangan, beleid sapu jagad sektor keuangan ini dapat memberikan multi plier effect terhadap perekonomian Indonesia. Sebab beleid ini juga meramu soal substansi industri jasa keuangan lainnya termasuk non-bank.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menyampaikan, peran RUU sektor keuangan diharapkan dapat meningkatkan peran sektir keuangan dalam struktur perekonomian yang dianggap masih mini. “Ini dimaksudkan untuk meningkatkan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” ujar Yasona, Selasa (24/11).
Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Supratman Andi Agtas memastikan pihaknya sudah menerima draff RUU tentang Penanganan Permasalahan Perbankan, Penguatan Koordinasi, dan Penataan Ulang Kewenangan Kelembagaan Sektor Keuangan.
Dia bilang, RUU yang menyelaraskan 13 Undang-Undang (UU) tersebut bakal dimasukan dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) 2021. Sementara, penanggung jawab pembahasannya akan ditentukan oleh Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI setelah putusan Rapat Paripurna. “Usulan (RUU) dari pemerintah dan Komisi XI DPR,” kata Andi kepada Kontan.co.id, Rabu (25/11).
Selanjutnya: Bunga penjaminan simpanan oleh LPS cuma 4,5%, di atas itu tak dijamin!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News