Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat
Sementara itu, penataan kewenangan OJK dalam RUU tersebut mempertegas peran otoritas untuk menetapkan status pengawasan dan kewenagan pada setiap tahapan status bank. Penguatan kewenangan OJK dalam koordinasi pengawasan perbankan terpadu sebagai koordinator Forum Pengawasan Perbankan Terpadu. Lalu, penegasan kewenangan OJK terkait kebijakan makroprudensial non-perbamkan.
OJK juga berhak memelihara data mengenai pemegang saham pengendali dan ultimate shareholder dalam rangka menjalankan kewenangan membatasi kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), komisaris, direksi, dan pemegang saham.
Kemudian, penguatan pengawasan secara terintegrasi termasuk konglomerasi keuangan di bawah Ketua Dewan Komisioner OJK. Selain itu, Ketua Dewan Komisioner OJK menetapkan keputusan akhir apabila musyawarah tidak mencapai mufakat dan dapat mengintervensi kebijakan eksekutif.
Baca Juga: Dongkrak permintaan kredit, begini saran OJK
Dari sisi BI, penataan kewenangan bank central dipertegal dalam hal kewenangan penetapan kebijakan makroprudensial perbankan harus sesuai dengan kesepakatan perumusan kebijakan dalam rapat KSSK. Kendati begitu, dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis, BI bisa membeli surat berharga negara jangka panjang di pasar perdana, mengatur devisa bagi penduduk, dan akses pendanaan korporasi melalui perbankan.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, penting untuk sektor keuangan punya landasar hukum yang kuat. Melalui RUU tersebut, Purbaya yakin Indonesia dapat mengantisipasi risiko krisis keuangan dalam jangka panjang.
“Misalnya 10 tahun ke depan akan seperti itu (krisis keuangan), maka kita sudah siap secara hukum. Penguatan LPS ini wajar-wajar saja, jadi penangananya (bank gagal) lebih efektif dan efisien. Sebab, LPS yang tau dan bertanggung jawab seberapa besar kekuatan uang di bank cukup atau tidak,” kata Purbaya kepada Kontan.co.id, Rabu (25/11).
Ekonom Senior Fauzi Ichsan berharap, RUU sektor keuangan dapat menjaga stabilitas sistem keuangan di masa mendatang. Dia menilai dengan adanya RUU itu wewenang LPS akan jauh di atas mayoritas LPS manca negara, seperti FDIC di AS dan DIA Russia.
Menurutnya, penguatan LPS sebagai pemegang putusan akhir permasahalan bank akan mempercepat eksekusi bank gagal. Sebab, rata-rata lembaga penjamin simpanan dan resolusi bank gagal hanya terlibat secara finansial jika bank bermasalah sudah dinyatakan gagal oleh pengawasnya, bukan due diligence.
Sementara hampir di seluruh yurisdiksi keuangan dunia, bantuan likuiditas adalah wewenang bank sentral sebagai lender of last resort, bukan LPS mau pun Kementerian Keuangan. Dalam hal ini, di banyak yurisdiksi Pinjaman Likuditas Jangka Pendek (PLJP) bank sentral dijamin pemerintah, sedangkan di Indonesia tidak.
Dus, klausul BI yang bertanggung jawab membeli SBN jangka panjang di pasar perdana untuk penanganan krisis dianggap wajar. “Yang penting penggunaannya berdasarkan koordinasi dengan OJK dan BI, dengan good governance, accountable, dan auditable untuk menghindari kriminalisasi kebijakan kelak nanti,” ujar Ichsan kepada Kontan.co.id, Rabu (25/11).
Baca Juga: Dongkrak permintaan kredit, OJK: Dorong penyaluran kredit korporasi