Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana meningkatkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada 2022 sebagai cara mengejar target penerimaan perpajakan yang dipatok tumbuh 8,37%-8,42% dari proyeksi akhir tahun ini.
Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Mukhammad Misbakhun menolak adanya rencana tersebut. Menurutnya, wacana tersebut kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah saat ini yang justru memberikan relaksasi perpajakan.
Misalnya diskon PPN atas properti, diskon pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor, hingga penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan.
Dia mengatakan tidak adil rasanya jika pemerintah menurunkan tarif PPh badan, tapi malah meningkatkan tarif pajak atas konsumen.
Baca Juga: Melihat dampak kenaikan tarif PPN terhadap inflasi
Meskipun rencana kenaikan tarif PPN baru bisa diterapkan paling cepat pada tahun 2022, Misbakhun menilai kondisi ekonomi tahun depan masih dalam proses pemulihan. Sehingga, daya beli masyarakat diperkirakan belum sepenuhnya pulih.
Toh, defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) masih diperbolehkan berada di atas 3% pada tahun 2022. Menurut Misbakhun cara tersebut bukanlah satu-satunya cara untuk meningkatkan penerimaan pajak yang mampu menutupi defisit tahun depan.
Menurutnya, untuk mengoptimalkan PPN caranya bukan hanya terbatas pada peningkatan tarif. Misalnya menerapkan skema Goods and Services Tax (GST) yang merupakan PPN berbasis pada tujuan dan dibebankan pada produksi, penjualan, serta konsumsi barang dan jasa yang belum memiliki nilai tambah di setiap tahapan.
Skema GST telah digunakan oleh berbagai negara misalnya Singapura. Perbedaannya mekanisme PPN yang berlaku di Indonesia yakni merupakan pajak tidak langsung yang dikenakan pada konsumen, yang dipungut oleh badan usaha atau produsen pada setiap penjualan yang dilakukan. PPN dikenakan pada setiap barang yang memiliki nilai tambah di berbagai tingkat penjualan.
“Nanti lewat GST maka perbedaannya lewat pengkreditan yang lebih selektif. Bisa juga membatasi restitusi PPN untuk korporasi yang menjalin kerja sama dengan proyek-proyek pemerintah,” kata Misbakhun kepada Kontan.co.id, Kamis (6/5).
Sekalipun bukan tarif PPN ditingkatkan bukan secara umum, tapi hanya terhadap beberapa barang/jasa tertentu, Misbakhun mengatakan cara itu tetap membebankan ekonomi. Sebab, tetap ada kenaikan harga barang/jas dari sektor tertentu, sementara daya beli konsumennya belum tentu pulih di tahun depan.
Misbakhun menambahkan cara lain untuk mengejar penerimaan pajak yakni pemerintah harus berani menarik pajak penghasilan atas perusahaan di luar negeri. Biar tidak ada kehadiran fisik di Indonesia, tapi perusahaan digital tersebut telah mendapatkan manfaat ekonomi dari dalam negeri.
“Selain itu pemerintah juga bisa mengenakan pajak atas transaksi perbankan dalam rangka perdagangan online,” ujar dia.
Baca Juga: Menelusuri asal usul rencana kenaikan tarif PPN dan respons pengusaha
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah berencana akan meningkatkan tarif PPN tahun depan. Adapun tarif PPN yang berlaku saat ini yakni sebesar 10%.
“Kenaikan tarif PPN akan dibahas dalam Undang-Undang (UU) ke depan,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam Musyarawah Perancanaan Pembangunan Nasional 2021, Selasa (4/5).
Sebagai informasi, dalam UU Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah mengisyaratkan tarif PPN dapat berada di kisaran 5% hingga 15%. Artinya, meskipun saat ini pemerintah telah menetapkan tarif PPN 10%, pemberlakuan tarif 15% bisa diterapkan apabila ada peraturan pemerintah (PP) terkait atau revisi UU 42/2009.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News