kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.904   26,00   0,16%
  • IDX 7.206   65,54   0,92%
  • KOMPAS100 1.108   13,29   1,21%
  • LQ45 880   13,50   1,56%
  • ISSI 221   1,37   0,62%
  • IDX30 450   6,98   1,58%
  • IDXHIDIV20 541   6,55   1,23%
  • IDX80 127   1,60   1,27%
  • IDXV30 135   0,68   0,51%
  • IDXQ30 149   1,91   1,30%

Ambisi Swasembada Pangan Pemerintah Dinilai Picu Ancaman Kelaparan


Rabu, 06 November 2024 / 16:26 WIB
Ambisi Swasembada Pangan Pemerintah Dinilai Picu Ancaman Kelaparan
ILUSTRASI. Operator mengoperasikan mesin pemanen padi (combine harvester) saat panen di Desa Singajaya, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (30/10/2024). Bright Institute sorot kondisi kelaparan dan kecukupan gizi Indonesia yang terabaikan di balik ambisi pemerintah mencapai swasembada pangan.?


Reporter: Shifa Nur Fadila | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bright Institute menyoroti kondisi kelaparan dan kecukupan gizi Indonesia yang terabaikan di balik ambisi pemerintah untuk mencapai swasembada pangan.

Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky menilai swasembada pangan yang ingin dicapai Presiden Prabowo Subianto dalam empat hingga lima tahun mendatang tidak akan cukup menyentuh permasalahan kelaparan di Indonesia. 

Hal itu tercermin dari 60% penduduk Indonesia saat ini konsumsi makanannya masih belum memenuhi kecukupan gizi. 

Baca Juga: Program Makan Bergizi Gratis, Kebutuhan Cadangan Beras Pemerintah Bakal Bertambah?

"Kalau kita lihat dari data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional), hanya penduduk pada kuintil 4 dan 5 pendapatan teratas yang memenuhi angka kecukupan gizi (AKG) energi harian atau hanya sekitar 60% penduduk Indonesia saat ini dan ini kondisinya secara umum lebih buruk dibanding 2019," jelas Awalil dalam Webinar, Selasa (5/11). 

Awalil juga menyoroti kondisi kelaparan ini dari data Global Hunger Index (GHI) terakhir. Berdasarkan data tersebut, Indonesia berada di bawah rata-rata dunia yakni di posisi 77 dari 127 negara. Jika dilihat di Asia Tenggara, Indonesia lebih buruk dari Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina, Kamboja, dan Myanmar. 

"Indeks kelaparan Indonesia hanya lebih baik dari Timor Leste dan Laos," ujarnya. 

Menurut Awalil, yang paling perlu diperhatikan dalam indeks GHI ini adalah komponen Prevalence of Undernourishment atau Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan yang diambil dari data BPS. Prevalensi ini pada 2023 mencapai sebesar 8,53%, lebih buruk dari 2017—2021, dan tidak mencapai target RPJMN di 5,2%. 

Baca Juga: Program Makan Berigizi Prabowo-Gibran Dinilai Tidak untuk Seluruh Balita dan Siswa

Awalil juga menjelaskan dalam melihat data atau Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan di Indonesia, kesenjangan nilai prevalensi ini masih sangat tinggi di antar provinsi serta kabupaten maupun kota. 

Tercatat, terdapat 291 kabupaten dan kota yang nilai prevalensinya lebih buruk dari nilai nasional, yang mana 291 ini lebih dari setengah jumlah kabupaten dan kota di Indonesia yang berjumlah 514.

Masih banyak kabupaten dan kota yang skornya masih tinggi atau dengan kata lain rakyat tidak cukup pangan. Ada 35 kabupaten kota yang prevalensinya di atas 30%. Di Papua, nilainya mencapai 35,63%. Di sisi lain, nilainya di Jakarta hanya 2,57%. 

Awalil menilai untuk bisa secara efektif menyentuh masalah tersebut, persoalan swasembada pangan seharusnya bukan hanya mengenai target jumlah produksi pangan dalam negeri, namun juga meliputi aspek yang lebih luas seperti kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan.

Baca Juga: Soal Anggaran Makanan Bergizi Gratis Per Porsi, Ini Kata Sri Mulyani

Menurutnya swasemada pangan bukan hanya soal produksi melebihi konsumsi, melainkan harus diperluas terkait kesejahteraan petani, akses semua orang pada kecukupan pangan, dan kedaulatan pangan. 

"Kedaulatan pangan ini kita ukur dari seberapa besar kita bisa memperoleh harga pangan yang diinginkan rakyat, serta seberapa besar hasil produksi pangan ini dikendalakan oleh negara atau masyarakat ataupun kendali korporasi," ungkapnya. 

Awalil mencontohkan, pada implementasi food estate memiliki kepentingan terpisah dengan kepentingan masyarakat sebagai konsumen. Artinya hal itu sama saja tidak berdaulat. 

Pada kesempatan yang sama, Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana mengatakan swasembada pangan yang ingin dicapai pemerintah memang seharusnya ikut memperhatikan kesejahteraan petani kecil. 

Ia mencatat sekitar 50% dari penduduk miskin di Indonesia kepala keluarganya adalah petani. Namun justru keluarga petani di Indonesia ironisnya saat ini menjadi keluarga yang paling rawan pangan. 

"Oleh karena itu, misi swasembada pangan tidak boleh mengesampingkan kesejahteraan petani kecil di atas kesejahteraan perusahaan yang mendapat anggaran pelaksanaan program," ucapnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×