Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekspor non-migas selama ini menjadi motor penggerak ekspor Indonesia, terutama dari enam komoditas unggulan yaitu batu bara, tembaga, minyak sawit, karet, kopi, dan udang-udangan.
Sayangnya, kontribusi dari ekspor impor keenam komoditas unggulan tersebut terhadap perekonomian riil dan penerimaan riil masih tak seberapa.
Institusi riset Perkumpulan Prakarsa menganalisis, salah satu musabab hal tersebut ialah tingginya praktik-praktik gelap atau aliran keuangan gelap dalam kegiatan ekspor impor komoditas unggulan Indonesia.
Aliran keuangan gelap dijelaskan sebagai bentuk perpindahan uang atau modal baik dalam bentuk perolehan, pengiriman, atau pun pembelanjaan secara ilegal.
Aliran keuangan gelap pun ditengarai sebagai salah satu penyebab hilangnya potensi penerimaan negara, baik dari pajak maupun non pajak yang membuat ekonomi negara berkembang seperti Indonesia lamban majunya.
Direktur Eksekutif Prakarsa Ah Maftuchan merilis laporan penelitian bertajuk "Mengungkap Aliran Keuangan Gelap di Indonesia: Besaran dan Potensi Penerimaan Pajak yang Hilang di Enam Komoditas Ekspor Unggulan", Kamis (28/3).
Penelitian tersebut menunjukkan pada kurun 1989-2017, aliran keuangan gelap enak komoditas ekspor unggulan Indonesia mencapai US$ 142,07 miliar.
Aliran tersebut terdiri dari aliran keuangan gelap yang masuk (illicit financial inflows) melalui praktik ekspor over-invoicing sebesar US$ 101,49 miliar. Sementara, aliran keuangan gelap yang keluar (illicit financial outflows) melalui praktik ekspor under-invoicing sebesar US$ 40,58 miliar.
Pada periode tersebut, aliran keuangan gelap keluar paling besar bersumber dari komoditas batu bara sebesar US$ 19,64 miliar. Adapun, aliran keuangan gelap masuk terbesar berasal dari komoditas minyak sawit yang mencapai US$ 40,47 miliar.
Setiap tahun, Prakarsa mencatat, rata-rata Indonesia mengalami aliran keuangan gelap keluar pada enam komoditas tersebut sebesar US$ 233 juta. Sementara, aliran keuangan gelap yang masuk rata-rata sebesar US$ 583 juta.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, aliran keuangan gelap alias illicit financial flows bisa berasal dari berbagai hal, antara lain perdagangan ekspor-impor, transfer pricing, hingga aktivitas ilegal seperti human trafficking, dan peredaran narkotika yang potensinya lebih besar lagi.
Selama ini pemerintah, menurut Piter, sejatinya telah melakukan cukup banyak hal untuk memperbaiki pengelolaan keuangan, salah satunya dengan membentuk berbagai lembaga independen seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, Piter menilai keberadaan lembaga-lembaga tersebut masih belum sinergis. Lantas, banyak kebijakan antar lembaga yang tidak saling melengkapi bahkan justru membuka peluang terjadinya illicit financial flow.
"Artinya, walaupun sudah ada banyak lembaga yang sebenarnya berpotensi memperbaiki pencatatan keuangan dan mengurangi illicit financial flow, tapi ada kebijakan-kebijakan yang membuat kemungkinan terjadi (uang gelap) lebih besar lagi," ujar Piter.
Sementara, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal berpendapat, adanya aliran keuangan gelap menjadi salah satu faktor yang membuat indikator pemerintahan Indonesia dalam World Governance Index yang dirilis Bank Dunia mengalami stagnansi.
"Misalnya, indikator rule of law yang berkaitan dengan penegakan hukum dan regulasi itu mandek dalam 2-3 tahun terakhir. Ada banyak faktor, tapi salah satunya terkait dengan adanya illicit trading ini," tandas Fithra.
Sekadar informasi, dalam riset ini Prakarsa memperoleh data nilai ekspor dari United Nations Comtrade Database dengan klasifikasi Harmonized System. Untuk mengestimasi aliran keuangan gelap, Prakarsa menggunakan pendekatan Global Financial Integrity.
Maftuchan mengatakan, pendekatan tersebut dengan mengkalkulasi kesalahan tagihan perdagangan melalui metode Gross Exclusion Reversal (GER). Metode tersebut menghitung ketidakcocokan laporan nilai ekspor suatu negara dengan laporan nilai impor oleh negara lain.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News