Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Aksi unjuk rasa merebak dalam sepekan terakhir di bulan Agustus 2025. Masyarakat menuntut atas ketidakadilan sejumlah kebijakan, seperti tunjangan DPR yang dinilai fantastis, desakan untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset, hingga masalah pemutusan hubungan kerja (PHK).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menyampaikan di tengah aksi ujuk rasa, situasi perekonomian Indonesia dihadapkan pada berbagai kondisi.
Pertama, ketimpangan ekonomi di Indonesia masih sangat lebar meskipun jumlah orang di bawah garis kemiskinan cenderung menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2025 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 23,85 juta orang, atau turun sekitar 200.000 orang dibandingkan dengan kondisi pada September 2024.
Akan tetapi, Faisal mencatat, jumlah masyarakat yang hidup di sekitar garis kemiskinan, dengan ambang pengeluaran per kapita per bulan di bawah Rp 1.000.000, diperkirakan tidak kurang dari 100 juta orang atau setara dengan lebih dari sepertiga jumlah penduduk Indonesia.
“Kondisi tersebut belum termasuk kelompok kelas menengah yang daya belinya juga mengalami penurunan,” tutur Faisal dalam agenda Diskusi Publik Indonesia di Persimpangan: Ketimpangan, Reformasi Fiskal, dan Masa Depan Ekonomi, Senin (1/9/2025).
Baca Juga: Airlangga Yakin Dampak Gejolak Sosial Politik Hanya Jangka Pendek
Kedua, tinggat pengangguran. Faisal menyebut, meskipun catatan BPS menunjukkan tingkat pengangguran terbuka mulai menurun pada tahun ini, sebagian besar pekerja masih tercatat sebagai pekerja informal dengan persentase yang mendekati 60%.
Selain itu, jumlah pekerja paruh waktu dan setengah menganggur mengalami peningkatan yang jauh lebih besar dibandingkan pekerja penuh waktu.
Di sisi lain, jumlah PHK juga terus bertambah. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang Januari hingga Juli 2025 jumlah PHK telah mencapai lebih dari 43.500 orang, meningkat 150% dibandingkan periode yang sama pada 2024.
Sementara itu, data dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menunjukkan jumlah PHK sebanyak 52.850 orang hanya dalam periode Januari hingga April 2025. Angka ini bahkan lebih tinggi lagi. Menurut catatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), jumlah PHK ada 73.992 orang pada periode yang sama.
Faisal menyebut, dari sisi upah riil buruh tidak mengalami peningkatan yang signifikan, bahkan cenderung melemah. Pada Februari 2025, pertumbuhan upah riil buruh hanya tercatat 1,9% secara tahunan (year-on-year) dibandingkan Februari tahun sebelumnya, angka yang dinilai sangat tipis. Jika dibandingkan dengan Agustus 2024, upah riil tersebut justru mengalami kontraksi sebesar 4,8%.
Sementara itu, dari sisi tingkat tabungan, tren juga menunjukkan penurunan. Setelah melihat kondisi ketenagakerjaan, pengangguran, PHK, dan upah, perhatian beralih pada tabungan masyarakat.
Data menunjukkan bahwa 99% rekening tabungan di perbankan memiliki nilai di bawah Rp 100 juta, dengan saldo rata-rata yang terus menurun sejak sebelum pandemi. Saat ini, saldo rata-rata kelompok tersebut hanya sekitar Rp 1,1 juta.
Sejalan dengan itu, Faisal mencatat, tabungan dengan nilai di atas Rp 2 miliar, meskipun proporsinya hanya nol koma sekian persen dari total pemilik rekening, justru mengalami peningkatan saldo rata-rata.
Hal ini menunjukkan adanya pelebaran ketimpangan. Pada saat yang sama, kecenderungan masyarakat untuk meminjam guna memenuhi kebutuhan konsumtif juga meningkat, salah satunya terlihat dari bertambahnya pinjaman peer-to-peer untuk konsumsi.
Baca Juga: Dorong Konsumsi dan Daya Beli, Airlangga Beberkan Program Stimulus Semester II-2025
Melihat kondisi tersebut, ia menekankan pentingnya kepekaan pejabat publik dan elite politik terhadap kondisi yang dihadapi masyarakat saat ini, serta perlunya langkah korektif yang nyata.
“Pentingnya pengambil kebijakan untuk segera merespon ketidakpuasan masyarakat pada aspek ini,” tutur Faisal.
Usulan Kebijakan
Faisal mengusulkan sejumlah kebijakan. Antara lain, membatalkan kebijakan perpajakan yang dinilai memberatkan masyarakat, khususnya kelompok menengah bawah, baik di tingkat pusat maupun daerah termasuk yang berkaitan dengan pajak pertambahan nilai (PPN) maupun pajak lainnya.
Selain itu, perlu dilakukan revisi terhadap potongan transfer ke daerah (TKD) yang mendorong kenaikan pajak serta retribusi oleh pemerintah kabupaten dan kota.
Core juga menilai strategi belanja pemerintah perlu dikoreksi dengan membatalkan pengeluaran yang kurang produktif dan cenderung boros, seperti pembentukan lembaga baru atau pemberian fasilitas dan tunjangan berlebih bagi pejabat publik, termasuk tunjangan rumah bagi anggota DPR.
Sebaliknya, anggaran serta insentif fiskal semestinya diprioritaskan untuk program yang langsung menjawab persoalan masyarakat saat ini, seperti penciptaan lapangan kerja secara masif, penguatan sektor padat karya yang sedang tertekan, serta program pengentasan kemiskinan.
Baca Juga: Airlangga Yakinkan Pasar dan Pengusaha, Pastikan Pertumbuhan Ekonomi Tetap Solid
Selain itu, Faisal juga menilai, kebijakan sebaiknya diarahkan pada pemberdayaan ekonomi yang terintegrasi dan terstruktur, bukan sekadar melalui bantuan sosial yang tidak menyentuh akar permasalahan masyarakat. Bantuan sosial juga dinilai rentan dipengaruhi oleh kepentingan politik.
Selain itu, secara makro, pemerintah perlu mengantisipasi potensi tekanan eksternal yang bisa semakin memperberat kondisi ekonomi. Salah satunya terkait kesepakatan dengan Amerika Serikat mengenai tarif resiprokal, yang berpotensi mendorong lonjakan impor lebih besar dan menambah tekanan terhadap sektor produksi dalam negeri, baik pertanian maupun manufaktur.
Situasi tersebut dikhawatirkan akan memperparah kondisi ekonomi yang sudah berat saat ini.
Selanjutnya: September Effect untuk Bitcoin Diprediksi Tak Terjadi Tahun Ini, Apa Alasannya?
Menarik Dibaca: Mengulik Kandungan Nutrisi dan 5 Manfaat Makan Tomat bagi Kesehatan Tubuh
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News