kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.501.000   -95.000   -3,66%
  • USD/IDR 16.785   -20,00   -0,12%
  • IDX 8.647   2,68   0,03%
  • KOMPAS100 1.194   -2,61   -0,22%
  • LQ45 847   -5,47   -0,64%
  • ISSI 309   -0,04   -0,01%
  • IDX30 437   -2,15   -0,49%
  • IDXHIDIV20 510   -4,16   -0,81%
  • IDX80 133   -0,62   -0,47%
  • IDXV30 139   0,36   0,26%
  • IDXQ30 140   -0,77   -0,54%

Akses Mineral Kritis Indonesia Dibuka, Peluang Ekspor Nikel Terhambat Aturan EV AS


Selasa, 30 Desember 2025 / 19:39 WIB
Akses Mineral Kritis Indonesia Dibuka, Peluang Ekspor Nikel Terhambat Aturan EV AS
ILUSTRASI. Smelter nikel Antam Mind ID - baterai kendaraan listrik (Dok/Mind ID)


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembukaan akses mineral kritis Indonesia ke Amerika Serikat (AS) dinilai belum serta-merta memperlancar ekspor nikel nasional. 

Ekonom sekaligus Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty menilai, meskipun peluang ekspor Indonesia ke AS sebenarnya cukup besar, regulasi di negara tersebut masih menjadi hambatan utama.

Telisa menjelaskan, kebutuhan AS terhadap bahan baku industri kendaraan listrik (electric vehicle/EV) membuka potensi ekspor bagi Indonesia. Namun, regulasi AS melalui Inflation Reduction Act (IRA) justru mengecualikan komponen nikel, sehingga mengurangi minat pelaku usaha AS untuk mengembangkan EV berbasis nikel.

“Jadinya pengusaha AS kurang tertarik mengembangkan EV berbasis nikel,” ujar Telisa kepada Kontan, Selasa (30/12/2025).

Selain faktor regulasi EV, Telisa menilai ekspor Indonesia ke AS juga menghadapi tantangan yang lebih kompleks dibandingkan pasar Tiongkok. Ia menyebutkan, ekspor ke AS harus memenuhi persyaratan ketat terkait standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG), ketertelusuran (traceability), serta perjanjian dagang yang lebih rumit.

Baca Juga: RI Tawar Ekspor Sawit dan Nikel dalam Pengecualian Tarif Dagang Terbaru dengan AS

“Ekspor ke AS juga cenderung lebih kompleks dalam persyaratan ESG, traceability, dan perjanjian dagangnya dibandingkan China,” tambahnya.

Di sisi lain, Tiongkok masih menjadi pasar nikel terbesar di dunia, baik untuk produk nikel mentah maupun hasil olahannya. Negara tersebut juga menjadi investor utama dalam pembangunan fasilitas smelter nikel di Indonesia, dengan dukungan aturan perdagangan bilateral yang dinilai lebih kondusif bagi perdagangan dan investasi.

Terkait neraca perdagangan, Telisa mencatat bahwa Indonesia hingga kini masih mencatatkan surplus perdagangan dengan AS, meskipun tarif impor telah diberlakukan. Namun, ia menilai kondisi tersebut terjadi karena sebagian tarif belum berlaku secara efektif.

Baca Juga: Masih Ada Ruang Negosiasi, Indonesia Ingin CPO Hingga Nikel Bebas Tarif AS

Menurut Telisa, pemerintah perlu mendapatkan pembaruan yang lebih rinci mengenai detail perjanjian atau kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan AS untuk dapat menilai dampak kebijakan tersebut secara lebih akurat ke depan.

Ia memperkirakan dampak keseluruhan terhadap neraca perdagangan Indonesia cenderung netral, bahkan berpotensi negatif tipis. Hal ini sejalan dengan kemungkinan meningkatnya impor, sementara ekspor berpotensi melambat.

“Meskipun ada tambahan dari mineral kritis dan nikel, tapi kalau realisasi impor migas besar dan ekspor padat karya berkurang, kecenderungan efeknya akan lebih ke neraca dagang yang netral atau negatif tipis,” tutup Telisa.

Baca Juga: Pemerintah Tawarkan Investasi Mineral Kritis dan Ekosistem EV ke Amerika Serikat

Selanjutnya: Ekspansi Gerai Aspirasi Hidup (ACES) Capai Target, Ini Prospek & Rekomendasi Sahamnya

Menarik Dibaca: 5 Kesalahan Pakai Cleansing Balm yang Harus Dihindari, Bikin Komedoan!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Video Terkait



TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×