Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memprotes keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang melarang siaran langsung dalam sidang kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektornik (e-KTP).
Sidang perdana kasus korupsi e-KTP akan digelar pada Kamis (9/3) pagi ini.
“Tidak ada urgensi untuk melarang siaran langsung dalam persidangan kasus ini. Sebaiknya media diberi akses siaran langsung secara terbatas, seperti dalam persidangan kasus Ahok," kata Ketua Umum AJI Suwarjono, melalui keterangan tertulisnya, Kamis (9/3) pagi.
AJI menghormati keputusan hakim sesuai kewenangan untuk memutuskan persidangan boleh diliput secara langsung atau tidak.
Namun, jika keseluruhan persidangan dilarang untuk peliputan secara langsung, maka hal itu patut dipertanyakan.
Menurut Suwarjono, persidangan kasus e-KTP ini menjadi perhatian besar publik karena berdampak pada kebutuhan orang banyak dan menyangkut dana negara yang sangat besar.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi, dugaan korupsi dalam proyek senilai Rp 5,9 triliun ini sekitar Rp 2,3 triliun.
Selain itu, ada nama-nama tokoh penting yang diduga terlibat dalam kejahatan korupsi ini.
“Sangat beralasan jika publik ingin mengetahuinya secara langsung tanpa harus datang ke pengadilan,” kata Suwarjono.
Bagi AJI, ada perbedaan penting antara sidang kasus e-KTP ini dengan sidang kasus penodaan agama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Menurut Suwarjono, ada faktor sensitivitas masalah yang jadi pertimbangan sehingga kebijakan untuk membolehkan siaran live tak bisa diterapkan.
Dalam kasus penodaan agama, ada ancaman nyata terhadap keberagaman dan ketertiban sosial jika sidang kasus itu disiarkan secara langsung.
“Sensitifitas masalah seperti itu tak kami temukan dalam kasus e-KTP ini,” tambah Suwarjono.
(Baca: Kamis Pagi, Pengadilan Tipikor Gelar Sidang Perdana Korupsi E-KTP)
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Iman D Nugroho menambahkan, AJI menyadari bahwa siaran langsung juga bisa memberi dampak yang tak diinginkan.
Misalnya, siaran langsung itu akan mempengaruhi opini publik terhadap kasus itu.
Ada kekhawatiran bahwa pandangan orang banyak tersebut akan mempengaruhi independensi hakim.
“Hakim sudah sepatutnya tak terpengaruh oleh pandangan publik itu dan benar-benar mendasarkan penilaiannya pada bukti dan kesaksian dalam persidangan,” kata Iman.
Selain itu, AJI mengakui bahwa siaran langsung bisa saja memengaruhi orang-orang yang akan memberikan kesaksian.
Untuk mengatasi masalah itu, kata Iman, pengadilan bisa mengeluarkan kebijakan siaran langsung hanya untuk sidang dengan agenda pembacaan dakwaan, pembelaan, tuntutan dan putusan.
Kebijakan seperti itu tak berlaku saat sidang yang agendanya pemeriksaan saksi.
“Kebijakan membolehkan siaran live secara terbatas ini bisa menjadi alternatif, agar pers tak merasa dibatasi dalam tugasnya, dan kepentingan pengadilan juga tetap terjaga,” tambah Iman.
Meski demikian, lanjut Iman, media elektronik yang menyiarkan langsung diharapkan tetap menjaga kode etik jurnalistik, termasuk jangan sampai ada sidang di luar persidangan.
AJI mengingatkan bahwa siaran langsung merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi pers yang diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Pasal 3 Undang Undang Pers menyatakan, “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.”
Siaran langsung dalam sidang e-KTP, kata Iman, merupakan bagian dari fungsi kontrol sosial media agar pengadilan berjalan obyektif dan fair dalam mengusut kasus mega korupsi ini.
Untuk menghindari kontroversi terkait peliputan media, AJI mendorong komunitas pers bersama Dewan Pers membuat pedoman peliputan persidangan.
"Saat ini sudah ada pedoman peliputan isu teroris, pedoman media siber, dan sangat penting membuat pedoman peliputan persidangan. Tujuannya menjaga marwah peradilan yang adil dan terbuka, namun tetap sesuai KUHAP. Daripada simpang siur atau peliputan diatur pihak lain," kata Iman.
Keputusan melarang siaran live dalam sidang kasus e-KTP sebelumnya disampaikan oleh Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Yohanes Priyana.
Meski terbuka untuk umum, persidangan dilarang untuk ditampilkan secara langsung melalui televisi.
Ketentuan itu juga berlaku untuk persidangan-persidangan lain di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Mengingat yang sudah terdahulu, pengadilan mengambil sikap bahwa persidangan sekarang sudah tidak boleh live lagi," ujar Yohanes, Rabu (8/3).
Aturan tersebut dijelaskan dalam Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor w 10 U1/KP 01.1.17505 XI201601. (Ihsanuddin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News