kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.919   11,00   0,07%
  • IDX 7.199   58,54   0,82%
  • KOMPAS100 1.106   11,37   1,04%
  • LQ45 878   11,64   1,34%
  • ISSI 221   1,06   0,48%
  • IDX30 449   6,23   1,41%
  • IDXHIDIV20 540   5,82   1,09%
  • IDX80 127   1,42   1,13%
  • IDXV30 134   0,44   0,33%
  • IDXQ30 149   1,71   1,16%

Ajak Anggota G20 Lawan Kejahatan Siber dengan Literasi dan Kerjasama Luar Negeri


Rabu, 20 Juli 2022 / 12:01 WIB
Ajak Anggota G20 Lawan Kejahatan Siber dengan Literasi dan Kerjasama Luar Negeri
ILUSTRASI. Kontan - Kominfo G20 Kilas Online


Reporter: Tim KONTAN | Editor: Ridwal Prima Gozal

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi terjadinya kejahatan siber kian meningkat dengan tingginya penggunaan layanan digital di  semua lini bisnis. Pada tahun 2021, nilai perdagangan digital mencapai Rp 401 triliun seiring dengan meningkatnya akseptasi dan preferensi berbelanja daring.

Ini juga didukung perluasan sistem pembayaran digital dan akselerasi digital banking. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), nilai transaksi uang elektronik pada April 2022 tumbuh 50,3% secara year on year mencapai Rp 34,3 triliun. Pada periode yang sama, nilai transaksi digital banking meningkat 71,4% secara yoy menjadi Rp 5.338,4 triliun.

Pada tahun 2025 potensi ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai sekitar Rp 2.050 triliun, kemudian pada tahun 2030 diproyeksikan naik menjadi Rp 4.531 triliun.

Karena itu, pemerintah mencoba membuat tata kelola dan penanganan kejahatan siber. Isu ini menjadi salah satu agenda yang didorong Indonesia dalam Presidensi G20 Indonesia 2022. Hal penting yang dibahas dalam diskusi adalah cross border data flow and free flow with trust.

Menkominfo Johnny G. Plate, dalam ajang Digital Economy Working Group (DEWG) beberapa waktu lalu, menyebutkan jika isu tersebut menjadi prioritas untuk mengatasi kejahatan siber atau cyber crime. Gugus tugas B20 Indonesia juga menjadikan soal kejahatan siber sebagai salah satu agenda prioritas. Gugus tugas merekomendasikan kebijakan antikorupsi, antipencucian uang, antiterorisme dan integritas antarnegara, untuk melindungi data pribadi dari kejahatan siber.

Di samping itu, Indonesia juga akan membahas isu Connectivity and Post-Covid Recovery serta Digital Literacy and Digital Talent. Menurut Johnny, aspek perlindungan data juga akan dibahas lebih dalam. Ke depan tidak hanya melindungi data pribadi namun juga data geospasial atau data-data strategis.

"Delegasi Indonesia juga membahas update teknologi dalam rangka pencegahan terhadap cyber crime. Di Indonesia cyber security khususnya teknology cyber security untuk menjaga ruang digital kita agar tetap bersih. Kita tahu, di Indonesia banyak sekali ilegal fintech, kebocoran-kebocoran data, hingga hoaks," papar Johnny.

Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Dedy Permadi menambahkan, pembahasan dalam kerjasama antar negara G20 melalui pertukaran informasi, pengalaman, serta best practices dalam upaya mewujudkan ruang digital yang aman dan melindungi penggunanya. Kementerian Kominfo terus memberikan perhatian kepada berbagai jenis kejahatan siber, seperti serangan malware, ransomware, SQL Injection, phising, dan social engineering.

Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat sebanyak 992 juta traffic anomaly di Indonesia merupakan serangan malware. Hal ini menjadi urgent karena dampak serangan siber sangat beragam dan merugikan, sebagai contoh, sepanjang tahun 2020, diestimasi kerugian akibat serangan siber diperkirakan mencapai US$ 6 triliun.

Sejauh ini, pemerintah telah melakukan penanganan kejahatan siber dari beberapa aspek. Kementerian Kominfo, BSSN, dan Polri menguatkan sinergi upaya pemberantasan kejahatan siber melalui pertukaran informasi untuk mendukung kegiatan penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri. 

Ke depan, Indonesia akan memperkuat talenta digital yang memadai sehingga dapat menangani ekosistem teknologi secara lebih tepat. "Teknologi dan talenta digital ini perlu kita adopsi untuk memastikan agar ruang digital kita bersih dan bisa bermanfaat bagi pengembangan sektor hilir dari digitalisasi Indonesia," ujar Johnny.

Ketua Indonesia Cyber Security Forum Ardi Sutedja pun sependapat salah satu cara untuk menangani dan menanggulangi hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan (HTAG) siber di Indonesia adalah sumber daya manusia di bidang spesifik. Di Indonesia menurut dia, kompetensi, sertifikasi profesi serta rekam jejak yang bagus.

Lembaga pendidikan di Indonesia pun dinilai harus menyesuaikan kurikulum pendidikan untuk menyesuaikan kebutuhan bidang spesifik siber ini. Ardi menambahkan, teknologi pertahanan siber pun harus dimiliki saat ini. Pasalnya saat ini pertahanan siber dari sisi pemerintah maupun swasta bukanlah hasil ciptaan anak bangsa namun dari produk dan jasa yang sudah jadi dan dijual.

"Sehingga seluk-beluk pengetahuan tentang teknologi tersebut kita tidak mengetahuinya secara mendalam dan hanya diajarkan untuk digunakan dan dibuat ketergantungan dengan proses lisensi yang tidak murah," ujar Ardi.

Sejatinya, Deddy menjelaskan jika Kementerian Kominfo telah menjalin kerjasama untuk mengawai platform digital secara domestik dengan BSSN. Kementerian Kominfo juga telah menyusun ketentuan pengawasan para platfrom digital yang wajib menerapkan berbagai standar tata kelola sistem elektronik termasuk keamanan dan pelindungan data pribadi.

Tak hanya itu, Kementerian Kominfo juga aktif meningkatkan literasi digital melalui Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi. Pihaknya juga telah menyiapkan digital safety sebagai salah satu pilar utama kurikulumnya.

Kerjasama dengan banyak negara

Justru menurut Deddy yang menjadi  tantangan dari kejahatan siber yang berada di luar jurisdiksi Indonesia karena upaya penegakan hukum yang perlu dilakukan membutuhkan kerjasama antar negara.  "Menjadi salah satu tantangan penegakan hukum disamping beberapa kendala teknis yang ada," imbuh dia. 

Selain itu, kondisi literasi digital pengguna teknologi yang masih membutuhkan peningkatan menjadi tantangan tersendiri untuk membentengi para pengguna dari beragam kejatahan siber yang mengancam.

Menurut Ardi, bentuk kejahatan siber tidak seperti kejahatan yang bersifat konvensional, dan banyak kejahatan siber atau kejahatan elektronika justru tidak disadari oleh si korban. Sehingga sudah terlambat dan biasanya para pelakunya sudah jauh dari jangkauan aparat penegak hukum. Jadi secara global memang masih menjadi tantangan mengingat masyarakat dunia memiliki ketergantungan kepada teknologi digital untuk menjalankan kehidupannya sehari-hari.

Ardi mengatakan untuk mengantisipasi kejahatan siber pemerintah Indonesia telah kerjasama secara bilateral maupun multilateral. Selain hal tersebut pemerintah telah menjalin kerjasama secara G-to-G, Police - to - Police, maupun dengan organisasi internasional seperti PBB, UNODC, Interpol, FATF/OECD, dan badan keamanan siber di berbagai negara dalam kerangka ISAC - Information Sharing & Analysis Center.

Ardi menyampaikan, masalah Mutual Legal Assistance (MLA) memang perlu dibakukan dalam bentuk perjanjian internasional. Dia berharap diskusi MLA di G20 tidak melibatkan pemegang kepentingan relevan dan terkait langsung dengan bagaimana kerjasama ini bisa dibangun.

"Hal ini menjadi penting mengingat masalah siber tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme birokrasi terpusat pada satu orang atau satu lembaga karena masalah siber sudah menjadi isu keamanan nasional yang juga menguasai hajat hidup orang banyak," kata Ardi. Tak hanya itu,

Selanjutnya masalah siber juga menyangkut masalah nyawa manusia dan masalah siber terkait erat dengan kelangsungan hidup dunia usaha (business continuity). Karena itu perlu kerjasama perlindungan data dan pertukaran data lintas negara. Namun ini harus menyesuaikan dengan rencana perundang-undangan terkait RUU Perlindungan Data Pribadi yang akan diundangkan oleh DPR pada Agustus mendatang.

Pengamat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dari ICT Institute Heru Sutadi menyebut, untuk melawan kejahatan siber perlu melibatkan semua pihak. "Dan bukan cuma tingkat nasional, tapi juga kerjasama internasional. Hal itu karena kejahatan siber sudah bukan kejahatan individu tapi sindikat dan melibatkan internasional," terang dia.

Sehingga, G20 dinilai menjadi momentum yang bagus untuk menjalin kerjasama internasional dalam menanggulangi kejahatan siber lintas negara. Kerjasama ini tidak saja dalam hal tukar menukar informasi, namun teknologi dan bagaimana sumber daya manusia Indonesia juga menjaga keamanan siber nasional. "Selain  kejahatan, kerja sama juga perlu dibangun untuk bagaimana antarnegara G20 saling menjaga data pribadi," jelas Heru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×