kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

AIFED 2018: SDM dan Industrialisasi bekal transformasi ekonomi Indonesia


Minggu, 09 Desember 2018 / 15:06 WIB
AIFED 2018: SDM dan Industrialisasi bekal transformasi ekonomi Indonesia
ILUSTRASI. Murid Baru Sekolah Dasar di Bekasi


Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - NUSA DUA. Bayang-bayang ketidakpastian masih menyelimuti perekonomian global di tahun depan, termasuk Indonesia. Dalam upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan terlepas dari jeratan defisit transaksi berjalan, pemerintah menyerukan semangat industrialisasi dan menggeser fokus pembangunan dari infrastruktur kepada sumber daya manusia (SDM).

The 8th Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED) tahun ini mengusung pertanyaan besar: Bagaimana Indonesia memperkuat proses transformasi ekonominya untuk menghadapi tantangan global. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, sesuai instruksi Presiden Joko Widodo, fokus pemerintah di tahun depan akan berpindah dari tranformasi infrastruktur menuju tranformasi kualitas SDM.

Sumber daya manusia, kata Sri Mulyani, merupakan bagian yang tak akan pernah terpisahkan dari transformasi ekonomi Indonesia. "Dari tiga fase transformasi ekonomi Indonesia sejak era Orde Baru, ada satu tema yang konsisten bagi Indonesia sebagai negara berpopulasi besar, yaitu kualitas SDM," kata Sri Mulyani saat menyampaikan pidato pembukaan AIFED 2018.

Melalui forum tahunan kali ini, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara menambahkan, Indonesia patut berkaca dari Korea Selatan dalam hal meningkatkan kualitas SDM. Korea membuktikan, SDM yang memiliki tingkat keterampilan dan pendidikan yang lebih baik, ditambah inovasi teknologi yang terus menerus, membantu Korea meningkatkan rantai nilainya (value-chain), yang kemudian mempercepat pertumbuhan ekonomi.

"Padahal pemerintah sudah berkomitmen menganggarkan 20% APBN untuk pendidikan. Tapi kembali lagi, bukan soal jumlahnya tapi soal program-program apa yang dibuat dari anggaran tersebut," kata Suahasil.

Program Leader for Human Development World Bank Camilla Holmemo, berpendapat, rendahnya investasi pada sumber daya manusia di masa lalu membuat Indonesia mengalami masalah kesehatan penduduk, besarnya angkatan kerja yang tidak terampil, dan ketimpangan gender.

Mari tengok betapa timpangnya kualitas SDM Indonesia dan Korea berdasarkan evaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia oleh OECD (PISA). Tahun 2015, Korea menempati peringkat ke-7 skor membaca tertinggi, dan ranking ke-11 skor sains tertinggi. Sementara, Indonesia berada di peringkat ke-69 dan ke-67 pada kedua skor PISA tersebut.

Padahal, Camilla mengungkapkan, kenaikan 50 poin pada skor tes PISA suatu negara berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi negara tersebut sebesar 0,93% per tahun untuk jangka panjang. "Dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan berkelanjutan untuk melanjutkan transformasi pengembangan sumber daya manusia di Indonesia," ujar Camilla.

Dengan begitu, Indonesia dapat mempercepat proses pengurangan stunting, mereformasi pendidikan, serta program asuransi kesehatan.

RPJMN 2020-2024

Perjalanan Indonesia meniti industrialisasi tampaknya juga masih panjang dan berliku. Economic Research and Regional Cooperation Department Advisor Asian Development Bank (ADB) Jesus Felipe, menilai, hambatan utama bagi industrialisasi Indonesia adalah kebijakan industri yang tidak dirancang dan tidak diterapkan dengan baik. Selain itu, menurutnya Indonesia juga gagal menciptakan perusahaan manufaktur lokal yang besar.

"Manufaktur apa pun yang dihasilkan Indonesia sebagian besar selalu dikaitkan dengan investasi asing langsung alias foreign direct investment (FDI) dari Jepang. Indonesia menjadi sangat bergantung pada riset dan pembangunan komersial Jepang, terutama setelah 1985 ketika Jepang menjadi investor asing pertama di Asia Tenggara," tutur Felipe.

Dominasi perusahaan mikro dan kecil pada sektor manufaktur, lemahnya riset, rendahnya kualitas vokasi dan pelatihan, serta minimnya koneksi antara sektor privat dan perguruan tinggi menjadi sederet isu lainnya yang menantang industrialisasi Indonesia saat ini, tambah Felipe.

Berbagai problem ini pun turut menjadi landasan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam merancang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Amalia Adininggar Widyasanti, menjabarkan, setidaknya ada tiga pertanyaan besar yang menjadi rumusan dalam perencanaan pembangunan nasional untuk periode 2020-2024 tersebut.

Pertama, bagaimana Indonesia mampu mempertahankan potensi pertumbuhan ekonominya demi mencapai tujuan menjadi negara berpendapatan tinggi (high-income country). "Untuk menjadi negara berpendapatan tinggi, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara rata-rata 2036-2045 harus mencapai 5,7%," kata Amalia.

Kedua, bagaimana Indonesia mentransformasi ekonominya agar terlepas dari ketergantungan terhadap komoditas. Sebab, Indonesia akan selalu rentan terhadap volatilitas dan sentimen buruk global selama perekonomian masih sepenuhnya bersandar pada komoditas.

Ketiga, bagaimana meningkatkan produktivitas ekonomi agar mampu bersaing dengan negara emerging market lainnya. "Tentang meningkatkan produktivitas modal dan tenaga kerja, di mana fokusnya bukan lagi soal demand-side, tapi justru supply-side," kata Amalia.

RPJMN 2020-2024, menurutnya, berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan besar tersebut melalui sejumlah strategi. Strategi peningkatan kualitas SDM serta pengembangan sektor manufaktur pun menjadi prioritas utama.

Di sisi lain, Robert Lawrence, Guru Besar Perdagangan Internasional dan Investasi dari John F. Kennedy School of Government Universitas Harvard, sepakat, penekanan pada masalah infrastruktur dan SDM dalam proses transformasi struktural ekonomi merupakan langkah yang tepat. Namun, ia mengingatkan, keduanya sulit tercapai kebijakan yang mendorong keterbukaan.

Keterbukaan, menurut dia, menciptakan daya saing yang menjadi unsur penting dalam mendorong pembangunan SDM maupun industrialisasi yang menjadi cita-cita Indonesia jangka menengah ini. Indonesia sadar bahwa pasar domestik tidak akan membuat negara ini cukup kaya. "Jadi, pertanyaannya, bagaimana Indonesia bisa menjadi lebih kompetitif secara global? Dengan kebijakan yang lebih terbuka daripada yang sudah dimiliki saat ini," ujar Robert.

Suahasil menyadari, rangkaian kebijakan untuk mengembangkan sumber daya manusia maupun industrialisasi bukan pekerjaan rumah yang mudah dan instan. Namun, ia optimistis, kebijakan dan strategi dalam RPJMN bisa terwujud. Buah-buah pikiran dalam gelaran AIFED tahun ini pun telah terangkum di dalamnya.

"Melihat track record capaian Indonesia empat tahun terakhir, terutama dalam hal infrastruktur, maka RPJMN selanjutnya akan lebih mungkin untuk terealisasi," kata dia.

Di saat yang bersamaan, tantangan global semakin berat. Sri Mulyani menyatakan, tidak mudah menata kebijakan di dalam negeri di tengah perekonomian global yang tidak pasti. "Kita harus sadar, lingkungan global berubah secara dinamis dan cepat. Kita juga harus mengantisipasi lingkungan global yang sedang menghadapi evolusi," ujarnya.

Selama ini Indonesia telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan di atas 5%, disertai dengan turunnya tingkat kemiskinan, rasio gini, dan pengangguran. Namun demikian, masih terdapat sejumlah tantangan antara lain gejala de-industrialisasi, ketergantungan pada komoditas, industri yang terkonsentrasi di Jawa, masalah kualitas tenaga kerja, dan kemampuan adaptasi teknologi.

Tahun 2045, tepat di peringatan 100 tahun kemerdekaannya, Indonesia diharapkan akan menjadi negara maju. Mimpinya, negeri ini memiliki perekonomian yang ditopang oleh bonus demografi, usia produktif, urbanisasi, jumlah kelas menengah, dan sektor jasa yang lebih produktif.

Lantas, Indonesia membutuhkan infrastruktur, sumber daya manusia, teknologi, perencanaan wilayah, sumber daya ekonomi dan keuangan, stabilitas makro dan politik, serta kepastian hukum untuk mencapainya. Sebuah jalan panjang yang ditentukan dari kebijakan yang dirancang sejak sekarang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×