Reporter: Dadan M. Ramdan, Surtan PH Siahaan, Mimi Silvia | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Raja kecil di daerah. Sebutan ini melekat kuat pada diri bupati dan walikota yang punya kewenangan besar dan luas pasca pemberlakuan otonomi daerah. Dengan kekuasaannya, banyak kepala daerah tingkat dua di Indonesia yang menjalankan sistem pemerintahan semau gue.
Begitu juga saat menerbitkan izin di sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan kelautan. Tak sedikit perizinan yang keluar menabrak peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahkan kental dengan praktik-praktik korupsi.
Contoh, Bupati Kolaka Buhari Matta yang terbukti korupsi terkait penerbitan surat izin kuasa pertambangan. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kendari pun memvonis Buhari 4,5 tahun penjara. Lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Buol Amran Batalipu karena menerima suap terkait penerbitan sertifikat hak guna usaha (HGU) perkebunan. Pengadilan Tipikor Jakarta lantas menghukum Amran 7,5 tahun bui. Yang terbaru, KPK menangkap Bupati Bogor Rachmat Yasin yang diduga menerima suap terkait izin pemanfaatan kawasan hutan.
Untuk itu, pemerintah pusat bakal memangkas kewenangan bupati dan walikota di sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan kelautan. Rencana itu tertuang dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan beleid ini sejak Senin (19/5) lalu dalam proses penggodokan pemerintah dengan DPR.
Lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat memindahkan wewenang bupati dan walikota di sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan kelautan kepada gubernur. Pemerintah pusat punya alasan: pertama, untuk memperketat dan mengefektifkan pengawasan. Selama ini pemerintah pusat kesulitan memantau sepak terjang kabupaten dan kota yang jumlahnya mencapai 505 daerah.
Nah, ketika kewenangan yang bersifat strategis dan berdampak ekologis itu ditarik ke provinsi, pengawasan akan lebih mudah. Soalnya, saat ini, hanya ada 34 provinsi di Indonesia. “Karena provinsi jumlahnya tidak banyak, maka lebih gampang dalam mengontrol,” tegas Djohermansyah Djohan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri).
Tambah lagi, gubernur kelak merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat. Sehingga, dalam menerbitkan izin, gubernur tetap harus mengantongi restu pemerintah pusat, khususnya kementerian terkait.
Kedua, pertimbangan sumberdaya manusia (SDM). Dari sisi kualitas, SDM di provinsi lebih baik ketimbang kabupaten dan kota. Dengan SDM yang layak, kinerja pemerintahan daerah bakal lebih baik dan profesional. Maklum, banyak posisi penting di kabupaten dan kota diisi orang-orang yang tidak kompeten. Djohan mencontohkan, ada kepala dinas pertambangan yang diisi oleh lulusan sarjana agama.
Ketiga, tentu saja maraknya kasus korupsi dan penyimpangan kewenangan oleh bupati dan walikota. Terlebih menjelang pemilihan kepala daerah, tak jarang bupati dan walikota jorjoran mengeluarkan perizinan untuk modal kampanye mereka yang kembali mencalonkan diri tanpa melalui prosedur.
Daerah menolak
Lantaran sudah sistemik, Djohan menegaskan, tak bisa diselesaikan dengan imbauan, melainkan sistemnya harus diubah. Caranya, ya, itu tadi, dengan menghilangkan wewenang bupati dan walikota di sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan kelautan. Alhasil, “Bupati dan walikota tidak bisa lagi main mata dengan perizinan itu,” tambah Djohan.
Meski begitu, Djohan mengatakan, kabupaten dan kota tetap mendapat hak atas hasil kekayaan alam yang ada di daerah mereka masing-masing. “Daerah mendapat bagi hasil dari penyelenggaraan urusan pemerintahan itu,” katanya.
Dan, Djohan mengklaim, sejauh ini DPR sejalan dengan rencana pemerintah soal pemangkasan kewenangan bupati dan walikota itu lewat revisi UU Pemerintahan Daerah. “DPR malah ingin ada penguatan peran provinsi di bidang lainnya,” ungkap dia.
Arif Wibowo, Wakil Ketua Komisi Pemerintahan (II) DPR, sepakat dengan rencana pemerintah pusat mengebiri kewenangan bupati dan walikota itu. Wewenang tersebut memang tidak boleh menjadi otoritas pemerintah kabupaten dan kota lantaran gampang disalahgunakan. “Tapi, kami sedang mendiskusikan secara mendalam mengenai hal itu,” kata anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Mestariyani Habie, anggota Komisi II DPR, juga setuju dengan pengalihan kewenangan bupati dan walikota ke gubernur tersebut. Asal jangan beralih ke pemerintah pusat karena menyangkut pendapatan asli daerah (PAD). “Pemerintah daerah, kan, lebih mengetahui potensi daerahnya?” imbuh anggota Fraksi Gerindra ini.
Hanya, penolakan datang dari Andi Fahsar Padjalangi, Bupati Bone, yang meminta kewenangan tersebut tetap ada di tingkat kabupaten dan kota, tapi atas rekomendasi dari provinsi. Pertimbangannya, hampir semua masalah yang terjadi di kabupaten dan kota yang tahu persis adalah kabupaten dan kota itu sendiri, bukan provinsi.
Apalagi, kewenangan di tangan provinsi justru akan menghambat investasi masuk. Sebab, rantai birokrasi semakin panjang. Provinsi tentu tidak bisa mengeluarkan serta-merta izin tanpa mendapat rekomendasi dari kabupaten dan kota.
Oleh sebab itu, Fahsar menyarankan, pemerintah pusat memberikan petunjuk teknis tentang apa yang boleh dan tak boleh dilakukan kabupaten dan kota, terkait perizinan pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan kelautan, bukan malah menarik kewenangan itu ke provinsi. “Kami di kabupaten dan kota akan sangat hati-hati memberi izin,” katanya.
Masalah yang terjadi selama ini, meski pemerintah pusat sudah membuat rambu-rambu, pemerintah kabupaten dan kota tetap saja melanggarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News