Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, ikut menyoroti polemik Rancangan Undang-Undang Bank Indonesia (BI). Pasalnya, jika Dewan Moneter mengontrol Bank Indonesia, maka pemerintah akan mengendalikan kebijakan fiskal dan moneter.
"BI harus tetap independen," tegas Eko dalam keterangannya, Rabu (7/10).
Eko menggambarkan bukti sejarah saat krisis 1998. Saat itu, BI belum independen dan masih di bawah Presiden, setara kabinet. Serta, masih ada Dewan Moneter. Artinya, pemerintah mengendalikan kebijakan fiskal dan moneter.
Menurut Eko, kondisi tersebut menyebabkan pengambilan keputusan untuk menyelamatkan nilai tukar lamban dan bertele-tele.
Baca Juga: Sibuk Otak-atik Kewenangan OJK-BI demi Antisipasi Ancaman Krisis Keuangan
"Karena waktu itu BI belum independen, apapun kebijakan yang dikeluarkan tidak dipercaya pasar keuangan. Akibatnya, krisis ekonomi menjalar ke krisis politik dan keamanan," urainya.
Eko menambahkan, saat BI tidak independen di era orde baru, banyak terjadi kasus pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). "Karena berkelindannya konglomerasi dan kekuasaan era orde baru," jelas Eko.
Selain itu, Eko juga menyoroti Badan Kebijakan Ekonomi Makro (BKEM) yang dicantumkan ke dalam rancangan amandemen BI. Jika kebijakan ini diterapkan, imbuhnya, maka arus modal asing (capital outflows) dari investor asing yang pegang obligasi, akan mengalir deras keluar.
"Kalau dibuat BKEM lagi seperti era orde lama dan orde baru, ya siap-siap saja pembangunan sektor keuangan Indonesia akan kembali mundur, dan penanganan gejolak kurs tidak akan cepat. Kalau tidak siap, sebaiknya tidak dilakukan," imbaunya.
Terkait Undang-undang (UU) no 2/2020, Eko melihat sudah berjalan. Selain itu, dampak ke sentimen pasar masih terkendali. Hal ini, papar Eko, dalam beban bersama (burden sharing), BI 'menanggung' biaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2020 yang sifatnya berupa barang kebutuhan publik (public goods).
Baca Juga: Pengamat: Revisi UU Bank Indomesia diperlukan, tapi jangan menyentuh independensi
"Kebijakan ini memang perlu ada batasan yang jelas, dan hanya boleh dilakukan saat ekonomi merosot tajam. Batasan tiga tahun di UU tersebut, saya rasa cukup untuk pemulihan ekonomi," demikian Eko.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menilai BI harus tetap independen sebagai bank sentral dalam perekonomian Indonesia. Karena BI berperan penting dalam upaya pemulihan kembali perekonomian di tengah perlambatan akibat dampak Covid-19.
"Bank Indonesia harus tetap independen dan independensi itu jelas dan baku, ibarat hitam atau putih, tidak ada varian di antaranya," kata Eddy, Senin (5/10).
Eddy juga mengimbau agar usulan pembentukan BKEM dan ketentuan lainnya harus dipertimbangkan kembali. Karena dapat menggerus independensi dan kredibilitas BI.
Keberadaan BKEM dalam rancangan amandemen BI, kata Eddy, akan membuat pemerintah mengendalikan kebijakan fiskal dan moneter kembali.
"Menurut hemat kami kebijakan moneter sejatinya berada di dalam rentang kendali BI. Karena yang dilakukan BI selama ini sudah baik. Menyatukan kebijakan fiskal dan moneter di satu tangan terbukti kontraproduktif," ujarnya.
Apabila tugas dan fungsi Bank Indonesia ingin diperluas, dia menyarankan agar menambah fungsi untuk ikut mempercepat proses pemulihan dan pertumbuhan ekonomi.
"Ke depannya BI bisa saja diberikan fungsi untuk mempercepat laju perekonomian serta mendukung penciptaan lapangan kerja," pungkasnya.
Selanjutnya: Pemodal Asing Melepas Saham dan Obligasi Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News