kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.234.000   12.000   0,54%
  • USD/IDR 16.649   -57,00   -0,34%
  • IDX 8.061   -62,18   -0,77%
  • KOMPAS100 1.116   -6,99   -0,62%
  • LQ45 794   -8,46   -1,05%
  • ISSI 281   -0,59   -0,21%
  • IDX30 416   -5,26   -1,25%
  • IDXHIDIV20 474   -4,96   -1,04%
  • IDX80 123   -1,09   -0,88%
  • IDXV30 132   -1,66   -1,24%
  • IDXQ30 131   -1,19   -0,90%

ADB Memangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI, Ini Pekerjaan Rumah Pemerintah


Selasa, 30 September 2025 / 19:26 WIB
ADB Memangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI, Ini Pekerjaan Rumah Pemerintah
ILUSTRASI. ADB memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5% menjadi 4,9% tahun ini, dalam laporan terbarunya September 2025.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Asian Development Bank (ADB) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5% menjadi 4,9% tahun ini, dalam laporan terbarunya September 2025.

Sejalan dengan itu, ADB juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1% ke 5% pada 2026 mendatang.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut lebih rendah dari target dalam APBN 2025 sebesar 5,2%, dan dalam APBN 2026 sebesar 5,4%.

“Prospek pertumbuhan Indonesia sedikit dikurangi menjadi 4,9% pada tahun 2025 dan 5,0% pada tahun 2026 untuk mencerminkan permintaan global yang lebih lemah, meskipun permintaan domestik diperkirakan akan tetap kuat,” mengutip Laporan ADB Edisi September 2025, Selasa (30/9/2025).

Baca Juga: Permintaan Global Melemah, ADB Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI pada 2025

Meski diproyeksikan di bawah target APBN 2025 dan 2026, ADB menyebut pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan tetap tangguh, dengan perekonomian domestik diperkirakan akan mampu mengimbangi hambatan eksternal secara lebih efektif pada tahun 2026.

ADB menambahkan, permintaan domestik, yang didukung oleh stimulus fiskal dan pelonggaran moneter, akan terus menopang pertumbuhan.

Sementara itu, aktivitas global yang melambat dan harga komoditas yang lebih rendah dapat membebani ekspor, tetapi perjanjian perdagangan yang berkelanjutan dan reformasi struktural akan memperkuat daya saing dan mendukung investasi.

“Risiko secara umum seimbang, dengan ketidakpastian global dan kemungkinan reformasi yang tertinggal diimbangi oleh komitmen berkelanjutan untuk membangun iklim perdagangan dan investasi yang lebih kuat,” tulis laporan tersebut.

Meski demikian, ADB realisasi belanja pemerintah yang membaik secara bertahap hingga tahun 2026 setelah mengalami hambatan pada awal 2025, memungkinkan stimulus fiskal untuk meredam dampak global dengan lebih baik, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, dampak pelonggaran moneter yang tertunda juga akan mulai mendukung aktivitas, dan investasi diperkirakan akan meningkat. Dengan risiko terhadap stabilitas harga yang rendah, bank sentral masih memiliki ruang yang cukup untuk mempertahankan kebijakan moneter yang suportif.

“Anggaran pemerintah tahun 2026 kemungkinan akan mendukung pertumbuhan yang lebih tinggi dan lebih inklusif, didukung oleh stimulus fiskal yang berkelanjutan,” tulis laporan tersebut.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman menilai, proyeksi pertumbuhan ekonomi dari OECD dan ADB jelas memberikan pesan bahwa ekspektasi global terhadap kinerja ekonomi nasional masih moderat, jauh dari ambisi pemerintah yang terus menargetkan pertumbuhan di atas 5,3%–5,5%.

Baca Juga: ADB dan OECD Kompak Proyeksi Ekonomi RI di Bawah Target, Ini Respons Pemerintah

Menurutnya, perbedaan ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan bahwa fondasi pertumbuhan Indonesia masih rapuh dan sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga, yang justru melambat karena daya beli masyarakat tergerus inflasi pangan, cicilan kredit, dan ketimpangan distribusi pendapatan.

“Jika motor utama PDB mulai kehilangan momentum, maka narasi pertumbuhan tinggi pemerintah akan semakin sulit terwujud,” kata Rizal.

Rizal juga melihat, investasi swasta sebagai sumber pertumbuhan jangka menengah masih terhambat oleh ketidakpastian regulasi dan lemahnya kepastian hukum.

Selanjutnya, hilirisasi yang didorong pemerintah pun belum menampilkan diversifikasi berarti, karena sebagian besar nilai tambah tetap terkonsentrasi di nikel, sehingga risiko overdependence pada satu komoditas semakin nyata.

“Padahal, tanpa ekspansi hilirisasi ke sektor tembaga, bauksit, petrokimia, hingga energi hijau, industri nasional hanya akan bergerak dalam lingkaran yang sama,” ungkapnya.

Di sisi lain, produktivitas tenaga kerja justru menunjukkan tren penurunan sebuah sinyal bahwa bonus demografi bisa berubah menjadi liability bila tidak segera diikuti reformasi pendidikan, pelatihan vokasi, dan penciptaan lapangan kerja berkualitas.

Baca Juga: Pemerintah dan DPR Sepakat Setop Strategi Pertumbuhan Ekonomi Berbasis Utang

Dari sisi fiskal, Rizal menambahkan, masalah kronis masih muncul yakni realisasi APBN dan APBD yang lambat, belanja negara yang lebih banyak terserap untuk subsidi ketimbang investasi produktif, serta keterbatasan ruang fiskal untuk membiayai kebutuhan infrastruktur dan transisi energi yang kian besar.

Maka dari itu, ia menyarankan agar pemerintah berani melangkah pada terobosan pembiayaan baru baik melalui sovereign wealth fund maupun green bond, jika ingin menghindari jebakan stagnasi fiskal.

“Tanpa langkah korektif dan reformasi struktural yang lebih progresif, sulit membayangkan Indonesia mampu menembus target ambisius di atas 5,5%, sebaliknya, ekonomi nasional berisiko terus terjebak dalam middle growth trap di kisaran 5%,” tandasnya.

Selanjutnya: Jadi Pemberat IHSG, Cermati Rekomendasi Saham-Saham Big Caps di Sisa Tahun 2025

Menarik Dibaca: Ramalan Zodiak Karier & Keuangan Rabu 1 Oktober 2025, Trobosan Baru!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×