Reporter: Amailia Putri Hasniawati | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Rencana penerbitan Undang-Undang (UU) Pengampunan Pajak alias Tax Amnesty nampaknya akan terealisasi.
Pemerintah akhirnya bersedia menjadi pihak yang berinsiatif merilis UU tersebut.
Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemkumham) berencana akan mengadakan pertemuan dengan Badan Legislatif (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pekan ini.
Agenda pertama yang akan disepakati adalah asal usul UU tersebut.
Sigit Priadi Pramudito, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak mengatakan, pihaknya telah mengusulkan kepada presiden terkait penyetujuan atas hak inisiatif UU tax amnesty.
Setelah DPR dan pemerintah sepakat, maka akan ada surat resmi dari pemeriintah agar UU tersebut masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2016.
Awalnya, pembahasan rancangan UU (RUU) itu dilakukan tahun ini.
Namun, karena ada tarik menarik mengenai asal usul RUU, maka pembahasan pun tak kunjung dimulai.
Padahal, pihak DPR sudah menyiapkan draf awal RUU yang judulnya RUU Pengampunan Nasional.
Tetapi, kemudian direvisi menjadi RUU Pengampunan Pajak.
Sigit mengaku, pihaknya juga sudah menyiapkan draf terkait regulasi pengampunan pajak yang akan diajukan.
"Sekarang naskah akademiknya sedang dibahas di panitia antar kementerian (PAK)," ujarnya kepada KONTAN, Selasa (24/11).
Bertindak sebagai koordinator pembahasan adalah Kemkumham.
Seperti pada draf awal RUU yang dibuat DPR, ada ketentuan tarif tebusan yang harus dibayar oleh para pengemplang pajak.
Kisarannya adalah 3%,4%, dan 6% dari total harta setelah dikurangi utang. Ini dikenakan berdasarkan waktu pengajuan.
Semakin cepat diajukan maka semakin sedikit pengalinya.
Tetapi, menurut Sigit, angka ini berpotensi berubah menjadi lebih rendah.
Alasannya, agar para pengempalang pajak berminat untuk melaporkan hasil kekayaannya yang belum dilaporkan.
Ketentuan tebusan ini rencananya akan diberlakukan baik bagi pengemplang yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) maupun yang sudah.
Selanjutnya, kebijakan ini nantinya berlaku bagi penghindar pajak yang menyimpan duitnya di luar negeri dan dalam negeri.
Seperti diketahui, saat ini data simpanan nasabah bank sifatnya rahasia, sehingga Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak kesulitan menelusuri kekayaan para wajib pajak.
Asal tahu saja, awalnya, ketentuan ini hanya diperuntukan bagi pengemplang pajak yang dananya diparkir di luar negeri.
Namun, para pengusaha yang tergabung dalam asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) ingin agar mereka yang dananya ada di dalam negeri juga diberi kesempatan untuk diampuni pajaknya.
Sigit bilang, pihaknya tidak akan menghiraukan asal dana dari para pengemplang yang nantinya ikut kebijakan ini.
Termasuk, dari hasil kejahatan seperti korupsi, pencucian uang, atau hasil pembalakan liar.
"Pajak tidak pernah mempertanyakan itu uang darimana, kami tidak punya hak, itu kerjaan Polisi dan Jaksa, kami hanya mempertanyakan uang itu sudah dibayar pajaknya apa belum," tuturnya.
Namun, ia menegaskan, itu bukan berarti pihaknya melegalkan aksi kejahatan tersebut.
Menurutnya, ia hanya mengacu pada UU Perpajakan yang menyebut, segala jenis tambahan kemampuan ekonomi itu adalah terutang pajak.
Sigit optimistis, UU Tax Amnesty bisa segera diluncurkan dan bisa menambah penerimaan negara.
Ia sudah menghitung dan menargetkan, penerimaan yang masuk dari hasil kebijakan khusus ini mencapai Rp 80 triliun.
Angka ini pun sudah masuk dalam penghitungan target penerimaan pajak tahun depan yang senilai Rp 1.360 triliun bersama dengan hasil revaluasi aset yang senilai Rp 15 triliun.
Sekadar tambahan informasi, saat ini, bagi pelaku pidana pajak, bentuk sanksi yang diterima adalah penjara pajak atau denda empat kalilipat.
Dengan adanya ketentuan ini, maka para pengemplang pajak akan terbebas dari pidana pajak ini.
Pemerintah berharap, dengan diberlakukannya tax amnesty, maka basis pajak akan bertambah.
Jika basis pajak bertambah, maka penerimaan pajak pun bisa maksimal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News