Reporter: Riendy Astria | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kasus sengketa tanah di Mesuji, Lampung hanyalah sebagian kecil dari gunung es konflik pertanahan di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2011 saja setidaknya terjadi 160 konflik.
Iwan Nurdin, Deputi Sekjen KPA menjelaskan sebagian besar konflik agraria ini belum diselesaikan. Kasusnya beragam, terutama konflik di sektor perkebunan, kehutanan dan pertanian. "Badan Pertanahan Nasional (BPN) belum bisa mengatasi masalah ini kendati sudah ada Deputi Penyelesaian Konflik Pertanahan di BPN," ujarnya, kemarin.
Menurut Iwan, selama ini penyelesaian yang dilakukan pemerintah masih menggunakan cara formalitas seperti surat menyurat. Padahal perlu terobosan dalam menuntaskan sengketa lahan atau konflik agraria.
Ia menjelaskan, jenis konflik agraria yang terjadi, antara lain soal sengketa lahan, sengketa lahan adat, konflik warga, sengketa pemilihan tanah, penggusuran tanah, penyerobotan lahan, penggusuran petani, perampasan lahan, pengambilan lahan masyarakat, monopoli lahan, konflik tanah terlantar, dan sebagainya.
Konflik-konflik tersebut tidak terjadi di beberapa daerah saja, melainkan hampir sebagian besar daerah di Indonesia. Mulai dari Jambi, Jawa Timur, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah. Lalu di Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Riau, Sulawesi Barat, NTT, NTB, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Lampung, Aceh, dan Bengkulu.
Konflik juga kerap terjadi di kawasan transmigrasi. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengaku setidaknya ada 30 kasus sengketa lahan di kawasan transmigrasi. Untuk konflik di kawasan transmigrasi banyak terjadi di Kalimantan dan Sulawesi.
Sodiq, Direktur Penyediaan Lahan Kemenakertrans menjelaskan, salah satu faktor penyebab konflik di kawasan transmigrasi adalah adanya oknum transmigran yang suka menjual tanah. Ia bilang, banyak transmigran yang memanfaatkan program transmigrasi dengan berulang kali datang dan pergi sekedar untuk menjual tanah saja.
Para transmigran ini menjual tanahnya pada pengusaha. "Ini berujung konflik dengan masyarakat di sekitar transmigrasi," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News