kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.455.000   12.000   0,83%
  • USD/IDR 15.155   87,00   0,57%
  • IDX 7.743   -162,39   -2,05%
  • KOMPAS100 1.193   -15,01   -1,24%
  • LQ45 973   -6,48   -0,66%
  • ISSI 227   -2,76   -1,20%
  • IDX30 497   -3,22   -0,64%
  • IDXHIDIV20 600   -2,04   -0,34%
  • IDX80 136   -0,80   -0,58%
  • IDXV30 141   0,18   0,13%
  • IDXQ30 166   -0,60   -0,36%

Abdullah Hehamahua: Pimpinan KPK sekarang terlalu banyak bicara


Selasa, 29 November 2011 / 12:13 WIB
Abdullah Hehamahua: Pimpinan KPK sekarang terlalu banyak bicara
ILUSTRASI. KDB Tifa Finance


Reporter: Eka Saputra | Editor: Edy Can


JAKARTA. Abdullah Hehamahua menilai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini terlalu banyak bicara. Penasehat KPK ini mengaku sudah sering kali mengingatkan hal ini kepada pimpinan KPK.

Hal ini disampaikan Abdullah saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Selasa (29/11). Dia menjawab pertanyaan anggota Komisi III DPR Ahmad Yani yang menanyakan pandangannya soal pimpinan sekarang.

Abdullah mengaku sudah sering mengingatkan pimpinan KPK. "Dalam rapat sudah sering saya katakan pimpinan tidak boleh bicara tentang kasus kecuali pencegahan. Tapi ada pimpinan yang mengatakan saya juga penyidik, penuntut dan lain sebagainya,” ujarnya.

Sebagai penasehat KPK, Abullah mengaku tidak bisa berbuat banyak untuk melarang pimpinan KPK berbicara banyak. Pasalnya, dia mengatakan, tugasnya hanya memberikan nasehat dan pertimbangan sesuai dengan undang-undang. "Tidak ada penjelasan yang baku, dalam undang-undang, apakah nasehat itu harus dilaksanakan atau tidak," katanya.

Pernah di Malaysia

Dalam fit and proper test itu, Abdullah juga mengaku pernah tinggal di Malaysia selama 15 tahun. Dia hijrah ke Malaysia bersama seorang istri dan tiga orang anak dari Jakarta.

Kepergiannya ke Malaysia karena aktivitas politiknya. Sebagai Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam pada 1984, dia pernah menolak Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK-BKK) dan juga menolak asas tunggal Pancasila.

Atas penolakan itu, dia sempat berurusan dengan polisi dan sempat buron. Setelah 15 tahun di negeri jiran, Abdullah akhirnya memutuskan pulang pada 2000 dan statusnya masih tetap warga negara Indonesia hingga sekarang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×