Reporter: kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
3. Masyarakat sulit mendapat kerja
"Sementara itu pencari kerja akan sulit mencari kerja dan semakin lama waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan formal yang layak mengingat sedikitnya penciptaan lapangan kerja akibat sistem pengupahan yang tidak kompetitif," ujarnya.
Menurut dia, pemerintah mesti mempertimbangkan kebutuhan penciptaan lapangan kerja yang semakin berat dalam 7 tahun terakhir.
Berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM setiap investasi Rp 1 triliun hanya mampu menyerap sepertiga dari jumlah ternaga kerja yang tercipta dibandingkan 7 tahun lalu.
"Agar Indonesia dapat lebih kompetitif untuk penciptaan lapangan kerja, Apindo mendesak agar dalam penetapan UMP/UMK 2023 pemerintah sepenuhnya mengikuti ketentuan peraturan perundang undangan. Yaitu UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan perubahannya UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020, serta PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dalam penetapan UMP/UMK, yaitu dengan mengikuti formula, variable dan sumber data pemerintah," kata Hariyadi.
Baca Juga: Pengusaha Tolak Permenaker 18/2022, Begini Kata Pengamat
Secara khusus, Apindo berharap agar Kementerian Ketenagakerjaan tidak dibebani dengan tekanan dari berbagai pihak untuk dapat mengimplementasikan peraturan perundang-undangan secara konsisten.
"Atas dasar kondisi tersebut, Apindo menolak jika pemerintah benar-benar melakukan perubahan kebijakan terkait penghitungan upah minimum 2023," ucap Hariyadi.
Sebelumnya, Kompas.com memberitakan bahwa Kemenaker telah memutuskan kenaikan upah minimum 2023, maksimal 10 persen dengan menggunakan formula Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022. Dengan demikian, PP No. 36/2021 tentang Pengupahan tak lagi jadi acuan penetapan upah minimum.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Polemik Formula Baru Upah Minimum, Pengusaha Ramal Terjadi Dampak Buruk"
Penulis : Ade Miranti Karunia
Editor : Yoga Sukmana
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News