Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka genap memasuki 100 hari pada 28 Januari 2025. Sejumlah program dan kebijakan yang dijalankan sudah mencuri perhatian publik.
Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, Prabowo mengambil pucuk kepemimpinannya dengan mengerjakan pekerjaan rumah yang diwariskan dari pemerintahan sebelumnya.
Misalnya saja dari aspek penerimaan negara, di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo belum mampu mendorong penerimaan pajak lebih tinggi dalam konteks rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB).
“Di saat yang bersamaan pertambahan belanja negara itu kerap kali mengalami pertumbuhan yang relatif lebih tinggi sehingga upaya untuk menjaga defisit anggaran terutama berada pada target yang disusun oleh pemerintah itu menjadi tidak mudah,” tutur Yusuf kepada Kontan, Senin (27/1).
Baca Juga: 100 Hari Program 3 Juta Rumah dan MBG, Begini Catatan Ekonom
Warisan utang jatuh tempo
Disamping itu, Prabowo juga menerima warisan dari pemerintahan sebelumnya yakni pembayaran utang jatuh tempo utang dalam 5 tahun ke depan. Melihat kondisi tersebut, Yusuf menilai, tidak mudah bagi Prabowo untuk menjalankan kebijakan janji kampanyenya yang membutuhkan anggaran jumbo, mengingat ruang fiskal terbatas.
Di satu sisi, Yusuf juga melihat terdapat inkonsistensi terutama dari visi kebijakan fiskal yang disampaikan di awal pemerintahan presiden Prabowo, yang menyatakan akan lebih efisien dalam mengelola APBN.
Namun, tidak lama setelah itu pemerintah justru melakukan hal yang sifatnya inefisiensi terutama dalam konteks menambah jumlah kementerian/lembaga (K/L)
“Sehingga tentu penambahan ini akan menambah beban belanja yang sebelumnya sebenarnya sudah cukup besar terutama dalam konteks belanja yang berkaitan dengan K/L,” ungkapnya.
Lebih lanjut, untuk menjaga ruang fiskal, Yusuf menyarankan pemerintah perlu melakukan konsolidasi terutama dengan otoritas moneter untuk melakukan simulasi apabila terjadi perubahan anggaran, serta perekonomian bisa berjalan dengan optimal.
Ia mencontohkan, apabila pemerintah menjalankan kebijakan defisit anggaran yang lebih tinggi, maka rencana tersebut harus dikomunikasikan dengan otoritas moneter untuk dilakukan simulasi stress, apakah rencana kebijakan tersebut akan mempengaruhi aspek moneter terutama dalam hal ini inflasi.
Baca Juga: 100 Hari Pemerintahan Prabowo, Indeks Persepsi Korupsi Masih Tinggi
Ruang fiskal sempit
Disamping itu, dengan menyempitnya ruang fiskal, pemerintah juga disarankan untuk mencari opsi ekstensifikasi pajak. Misalnya melalui pajak karbon atau misalnya pajak orang kaya, yang bisa dijadikan sebagai alat mitigasi dalam potensi menyempitnya ruang fiskal.
Meski begitu, Yusuf menambahkan, pada tahap awal pemerintah tampaknya masih akan mengandalkan utang baru untuk menjalankan kebijakannya.
“Tentu rencana penerbitan utang juga bisa ikut melibatkan berbagai skenario terutama di dalamnya misalnya mendorong penggunaan pinjaman luar negeri terutama untuk program tertentu,” tambahnya.
Selain itu, pemerintah juga bisa melakukan penghematan belanja untuk menjaga ruang fiskal tetap prudent, namun dengan syarat, penghematan anggaran tidak boleh mengorbankan stimulus perekonomian baik di level pemerintah pusat maupun di level pemerintah daerah.
Selanjutnya: Thai Economy to Grow More Than 3% This Year, Finance Minister Says
Menarik Dibaca: Rayakan Hari Imlek, Subway Indonesia Kenalkan Menu Thai Shrimp
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News