kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: Skema PPh belum cerminkan asas keadilan


Selasa, 15 Agustus 2017 / 21:03 WIB
Pengamat: Skema PPh belum cerminkan asas keadilan


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - Pemerintah mengklaim skema tarif pajak di Indonesia selama ini sudah mencerminkan asas keadilan. Namun, kebijakan dan administrasi pajak belum optimal dalam mengurangi ketimpangan pendapatan.

Untuk PPh individu sendiri, Indonesia punya empat layer tarif. Bagi yang memiliki penghasilan hingga Rp 50 juta per tahun adalah 5%. Sementara yang berpenghasilan di atas Rp 50 juta, tetapi di bawah Rp 250 juta, tarifnya 15%.

Namanya progresif, maka tarifnya terus membesar. Bagi yang berpenghasilan di atas Rp 250 juta, tetapi di bawah Rp 500 juta, tarifnya adalah 25%. Sementara tarif penghasilan di atas Rp 500 juta adalah 30%.

Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam melihat bahwa soal ideal atau tidaknya skema tarif PPh sendiri menurut harus ada berbagai aspek yang dilihat. Dari sisi kesederhanaan, menurut dia, skema PPh sudah sederhana sehingga selaras dengan perkembangan global.

“Selama empat dekade terakhir justru terdapat kecenderungan adanya penyederhanaan jumlah kelompok lapisan penghasilan serta penurunan rata-rata tarif PPh OP,” katanya kepada KONTAN, Jakarta, Selasa (15/8).

Artinya, sistem PPh di banyak negara kini memiliki jumlah kelompok lapisan penghasilan yang justru lebih sedikit dengan tarif yang lebih rendah. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari adanya mobilitas manusia yang meningkat, prinsip kesederhanaan serta untuk mencegah adanya perencanaan pajak dengan memanfaatkan perbedaan tarif antar layer penghasilan

Namun, menurut Darussalam, perlu juga mempertimbangkan seberapa pembagian kelompok dan beban tarifnya telah mencerminkan aspek keadilan.

“Ada baiknya dilakukan perhitungan secara mendetail mengenai tax burden dan dampaknya baik bagi penerimaan, distribusi pendapatan, serta bagaimana struktur tersebut tetap menjamin pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga mengatakan, adanya empat layer tersebut dinilai tidak cukup progresif jika ingin mencapai level keadilan maksimum.

Menurutnya, layer yang hanya empat dan bracket yang sempit jelas tidak mendorong pemerataan karena tarif tertinggi justru sudah dikenakan pada lapis penghasilan yang melebihi Rp 500 juta.

“Kami hitung relasi kenaikan pendapatan dengan progresivitas. Semakin tinggi pendapatan, marjin beban pajak semakin kecil,” katanya.

Ia melanjutkan, banyak kelompok menengah yang level penghasilan di atas Rp 500 juta. Misalnya para manager perusahaan besar yang dengan gaji Rp 50-60 juta sudah dikenai 30%.

“Bagaimana mau merata? Jadi kemampuan konsumsi rumah tangga juga rendah karena sudah diambil negara, dengan risiko redistribusi belum bagus,” ujarnya.

Dengan demikian, ia menilai bahwa kebijakan dan administrasi pajak belum optimal dalam mengurangi ketimpangan pendapatan. Sebaliknya, skema yang ada justru ikut berperan dalam memperlebar ketimpangan.

Oleh karena itu, Yustinus mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan pajak yang lebih progresif agar memproteksi kelas menengah.

“Jadi cara menurunkan tarif tidak harus dengan turun di top rate, tapi perluas bracket. Bikin lebih progresif, sehingga memproteksi kelas menengah. Yang kelompok atas bayar lebih besar, menengah berkurang tapi agregat bisa naik karena tax base menjadi lebih lebar,” jelasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×