Reporter: Agus Triyono, Asep Munazat Zatnika, Jane Aprilyani | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Konferensi Asia Afrika akhirnya selesai, Kamis kemarin (23/4). Ada tiga hasil yang bisa disepakati dalam tingkat tinggi pertemuan itu.
Pertama, penguatan kerjasama selatan-selatan untuk mendukung perdamaian dan kemakmuran ekonomi. Kedua, deklarasi penyegaran kemitraan strategis baru Asia Afrika. Terakhir, deklarasi tentang Palestina.
Yang juga menarik adalah hasil pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping di sela-sela KAA itu. Presiden Jokowi memastikan bahwa China akan ikut membenamkan investasi dalam proyek infrastruktur
Dari situs Sekretariat Kabinet disebutkan, proyek infrastruktur yang menggandeng China antara lain: pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandar udara (bandara), pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer (km), pembangunan jalan kereta api sepanjang 8.700 km, serta pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 mega watt (MW).
Tak cuma itu, China juga akan terlibat dalam pembangunan jalur kereta api super cepat Jakarta - Bandung dan Jakarta - Surabaya. Sayang, pemerintah tak menyebutkan nama proyek berikut besaran nilai proyek
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Sebelas Maret Surakarta Agung Prabowo menilai keputusan menggandeng China harus ditanyakan. "China memang luar biasa. Tapi, apakah mereka unggul dalam pembangunan pelabuhan, jalan, jalur kereta, pelabuhan dan bandara? Itu harus dijelaskan," ujarnya kemarin.
Menurutnya, selama ini, beberapa pengadaan barang dan jasa yang melibatkan China acap kali bermasalah. Salah satunya adalah proyek program percepatan pembangunan pembangkit listrik bertenaga batubara, gas dan energi terbarukan atau fast track programme) tahap I.
Pembangkit listrik yang dibangun China dalam proyek ini tak bisa berproduksi maksimal lantaran banyak komponen usang. Selain itu, pada kasus pengadaan armada Trans Jakarta. Banyak armada rusak dan berkarat.
Deputi bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dedy Priatna juga pernah bilang, proyek pembangkit listrik tahap I yang dikerjasamakan dengan China hampir 90% rampung.
Tapi, kapasitas produksi listrik itu hanya 30%- 50% saja. Ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pembangkit listrik yang dibangun kontraktor Jerman, Prancis dan Amerika yang bisa mencapai 75% - 80%.
Kepala Pengkajian Energi Universitas Indonesia Iwa Garniwa menambahkan, teknologi pembangkit listrik Jerman, Jepang dan Korea lebih mahal. Teknologi dari China memang lebih murah, tapi kapasitasnya tak sesuai harapan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News