kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Batasi minuman keras, RI perlu tiru Australia


Minggu, 04 Oktober 2015 / 10:58 WIB
Batasi minuman keras, RI perlu tiru Australia


Sumber: Kompas.com | Editor: Adi Wikanto

JAKARTA. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan Indonesia perlu belajar dari negara lain soal pembatasan minuman beralkohol.

Salah satunya adalah Australia yang sempat memberlakukan politik total banning atau melarang total peredaran minuman beralkohol.

"Kalau pemerintah mau belajar dari Australia, politik total banning itu pernah diterapkan dan itu gagal total. Karena itu pemerintah Australia menerapkan pembatasan yang sangat ketat di antaranya soal jam pembelian. Di atas jam 21.00 (minuman beralkohol) sudah tidak boleh dibeli," ujar Anggara dalam sebuah acara diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu (3/10/2015). 

Pemerintah saat ini tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol. Anggara menilai, seharusnya pemerintah melakukan pembatasan distribusi, bukan pelanggaran.

Karena aturan tersebut justru akan merugikan masyarakat, salah satunya dari sektor ekonomi. 

Dari sisi investor, menurut Anggara, investasi minuman beralkohol akan ditarik besar-besaran dari Indonesia dan dipindahkan ke tempat lain sehingga akan mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak hanya dialami pemerintah tapi juga masyarakat yang bekerja dalam sektor-sektor industri tersebut. 

"Kita tidak boleh melihat hanya industri minumannya. Tapi industri derivatifnya. Hotel, kafe, bar dan sebagainya itu yang akan terkena. Karena mungkin saja di tempat-tempat tertentu akan ada pengurangan yang sangat luar biasa," tambah Anggara. 

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Pengusaha Minuman Beralkohol Bambang Britono menjelaskan bahwa dampak dari peraturan tersebut telah berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawan perusahaan minuman beralkohol.

Pasalnya, produksi sebagian besar perusahaan berkurang hingga 50% dari kapasitas normal. 

"Kita bukan oplosan, kita minuman resmi terstandar. Kita sudah siap untuk mendukung pengendalian dan pengawasan," ungkap Bambang. 

Bambang menambahkan, seharusnya pemerintah membuat program kampanye untuk mengendalikan dan mencegah minuman berbahaya seperti minuman oplosan.

Ia menyatakan pihaknya siap membantu jika pemerintah mau melakukan sosialisasi agar tidak jatuh lebih banyak korban akibat minuman oplosan.

(Nabilla Tashandra)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×