kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45925,51   -5,84   -0.63%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ada kesempatan, ada pula spekulan


Kamis, 03 September 2015 / 09:10 WIB
Ada kesempatan, ada pula spekulan


Reporter: Benediktus Krisna Yogatama, Silvana Maya Pratiwi , Surtan PH Siahaan, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Untuk kali pertama tahun ini, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengeluarkan maklumat. Tempatnya pun istimewa, di Istana Bogor di sela rapat koordinasi percepatan pembangunan yang digelar Presiden Joko Widodo.

Maklumat ditujukan kepada pelaku usaha agar tidak melakukan penimbunan pangan dan kebutuhan pokok. Tak cukup mengumumkannya lewat media, maklumat itu disebar ke seluruh polsek di Indonesia.

Maklumat ini tak urung membuat sebagian pelaku usaha ketar-ketir. Takut jika menyetok barang malah disangka menimbun.

Namun Khudori, pengamat pertanian menilai wajar keluarnya maklumat ini. Kapolri, ia nilai, hanya menjalankan amanat Undang-Undang (UU) Pangan, UU perdagangan, dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 tahun 2015. “Setelah ada Perpres itu, ditambah maklumat Kapolri, ini menjadi dasar yang kuat bagi polisi untuk bergerak. Soalnya, sebelumnya apa yang disebut penimbunan itu nggak jelas,” kata Khudori.

Langkah Kapolri ini menyokong upaya pemerintah untuk menstabilkan harga barang kebutuhan pokok. Maklum saja, untuk sebagian barang seperti daging sapi, daging ayam, dan telur, harga tinggi memang masih membayang. Sementara barang lain, seperti tomat dan garam di level petani malah melata di dasar.

Dua kasus yang paling hangat hingga kembali mencuatkan istilah mafia adalah daging sapi dan garam. Polisi dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sampai menggelar investigasi bersama. Berikut ulasannya:


• Penimbunan dan kartel harga sapi
Sebelum Badrodin mengeluarkan maklumat, bawahannya sudah gencar membidik kasus dugaan penimbunan bahan pokok. Yang masih anyar dalam ingatan adalah kunjungan mendadak polisi ke kandang sapi milik semua feedloter di Jabodetabek.

Beberapa perusahaan penggemukan sapi diduga sengaja tidak memotong sapi seperti biasa. Jumlahnya mencapai puluhan ribu ekor sapi siap potong. Akibatnya, harga daging di pasar mengalami anomali; pasca lebaran enggan beranjak turun.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Mohammad Iqbal menyebut, pihaknya menggelar investigasi bersama (joint investigation) dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ini dilakukan untuk memperkuat proses pengusutan kasus ini. “KPPU dan Krimsus Polda Metro Jaya sedang melakukan pendalaman dari semua saksi-saksi yang diperiksa dan alat-alat bukti yang kita sita,” kata Iqbal.

Lagipula, KPPU memang sudah lebih dulu menelusuri kasus daging sapi ini, yakni sejak 2013. Namun, yang disoroti adalah dugaan terjadi praktik kartel memainkan harga di pasaran. Ketua KPPU Syarkawi Rauf menyebut, pihaknya terkesan lambat lantaran baru tahun ini pihaknya bisa menemukan alat bukti yang cukup. “Khusus daging sudah diputuskan seminggu yang lalu untuk masuk dalam proses perkara. Persidangannya akan dimulai pertengahan September,” kata Syarkawi, 26 Agustus 2015 lalu.

KPPU mengaku sudah memeriksa 24 perusahaan penggemukan sapi. Kuat indikasi, ada tujuh feedloter yang bermain. Namun untuk angka persisnya akan diumumkan menjelang persidangan.

Agar tidak bentrok dengan upaya hukum di Kepolisian, KPPU akan menelusuri dugaan kartel. Sementara polisi bermain di wilayah pidana penimbunan sapi. Data dan temuan terkait dugaan penimbunan di KPPU diserahkan ke polisi. Sebaliknya, temuan polisi soal kartel diserahkan ke KPPU.

Sementara polisi masih sibuk memeriksa saksi ahli. Belum ada satu pun tersangka yang diciduk. Komjen Budi Waseso, Kabareskrim Polri, menyebut, pihaknya memeriksa saksi ahli dari Kemtan, IPB, dan LIPI. “Keterangan sebagai saksi ahli untuk memperkuat penyidikan,” kata Budi.

CEO PT Bina Mentari  Tunggal Juan Permata Adoe mengaku, perusahaannya juga sempat didatangi aparat. Namun, karena perusahaan feedloter itu tetap melakukan pemotongan sapi seperti biasa, Juan mengaku tidak pernah sampai diperiksa di kantor polisi.

Meski begitu, ia mengakui, sebagian feedloter, terutama yang memiliki setok banyak,  memang sengaja menahan barang. “Itu yang terjadi. Tapi setelah itu, pemerintah mempersepsikan pengusaha melakukan  penimbunan sapi,” tuturnya.

Dalam pandangannya, akar permasalahan daging sapi berawal dari tindakan pemerintah yang mendadak mengurangi kuota impor sapi bakalan. Alokasi impor triwulan III yang  diperkirakan sama seperti triwulan II, yakni 250.000 ekor bakalan dan 35.000 sapi siap potong, tiba tiba diturunkan menjadi 50.000 sapi bakalan.

Kuota 50.000 ekor itu pun  diterbitkan tiga hari sebelum Idul Fitri. Dalam persiapan Idul Fitri, harganya justru stabil dan bagus karena pengusaha berpikir kebijakan pemerintah untuk triwulan III masih sejalan.

Kebijakan pengurangan kuota ini membuat mekanisme pasar terganggu. Pengusaha yang punya stok di penggemukan dari hasil pembelian triwulan II dan yang rencananya dijual pada triwulan III harus menjaga stoknya. Ini dilakukan untuk menyuplai pasar yang sudah terbiasa digerojoki rata-rata 50.000 ekor sapi per bulan. “Jadi semua memelihara sapinya diperpanjang di triwulan III untuk pasar triwulan IV. Ini yang disebut pemerintah sebagai penimbunan,” tuturnya.


• Kuota dan kartel harga garam
Tak seperti daging sapi, langkah polisi mengusut kasus mafia impor garam jauh lebih mulus. Dalam tempo setengah bulan, satuan tugas khusus (satgassus) dari Polda Metro Jaya menggerebek kantor dua importir garam di Jawa Timur.

Pada 11 Agustus 2015, kantor PT Garindo Sejahtera Abadi di Jalan Raya Candi, Sidoarjo digeruduk polisi. Lantas, 26 Agustus 2015 giliran kantor PT Unichem Candi Indonesia yang disambangi polisi.

Singkat cerita, polisi menemukan dugaan suap kuota impor garam. Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Partogi Pangaribuan pun dicokok dan ditetapkan sebagai tersangka.

Saat menggeledah kantor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, 3 Agustus 2015, polisi menemukan uang US$ 40.000 di meja staf Partogi. Belakangan, lewat pengacaranya, Yudha Ramon, Partogi mengakui uang itu miliknya. Sayang, Yudha tak bersedia menjawab pertanyaan soal asal-usul uang tersebut. “Belum ada perkembangan apa-apa. Pemeriksaan terakhir dilangsungkan hari ini,” kata Yudha, singkat, 27 Agustus 2015.

Pada 10 Agustus 2015, sekitar pukul 16.00 WIB, giliran Gedung Kementerian Perindustrian (Kemperin) yang digeledah polisi. Selang delapan hari kemudian, beberapa pejabat Kemperin diperiksa polisi sebagai saksi, termasuk Harjanto, Dirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka. Sayang, Harjanto tidak menanggapi permintaan wawancara yang dilayangkan KONTAN.

Namun, Inspektur Jenderal (Irjen) Kemperin Syarif Hidayat menyebut, pejabat Kemperin yang dipanggil polisi ditanya seputar prosedur penetapan industri yang membutuhkan impor garam, standar operating prosedur-nya (SOP), siapa yang melaksanakan, dan pengambil keputusan. “Apakah nanti ada salah prosedur, kami tak tahu. Itu saja kalau saya diskusi dengan rekan-rekan yang dipanggil,” tukasnya.

Menurutnya, keterlibatan Kemperin pada impor garam hanya memberikan pertimbangan teknis terkait kebutuhan industri. Pasalnya, Kemdag yang berkuasa atas izin impor tidak memiliki kemampuan teknis untuk menilai kebutuhan industri. “Saya tidak melihat ada permainan oknum di Kemperin, jadi saya tidak tahu,” katanya.

Polda Metro Jaya sampai saat ini masih terus mengembangkan kasus ini. Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Tito Karnavian masih mendalami kemungkinan keterlibatan pihak lain. “Nanti kalau sudah ada hasilnya, pidana atau tidak, kita akan umumkan,” kata Tito.

Tak cuma permainan kuota impor, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga terjadi praktik kartel garam. Ketua KPPU Syarkawi Rauf bilang, pihaknya mendapat laporan bahwa importir garam membeli dengan harga yang sangat rendah, hanya Rp 100 per kg. Padahal, harga pembelian pokok (HPP) garam KW1 mencapai Rp 750 per kg dan KW2 di level Rp 550 per kg.

Arthur Tanudjaja, Direktur Utama PT Cheetam Garam Indonesia, enggan mengomentari kasus kuota impor dan kartel garam. Menurutnya, meski kini banyak rumor negatif yang berkembang, pihaknya tetap menjalankan usaha seperti biasa. “Saya kalau untuk kartel, no comment,” kilahnya.

Sementara PT Garam (Persero) yang juga melakukan pembelian garam petani, mengaku, perusahaannya belum pernah diperiksa polisi terkait kasus ini. “Kami siap memberikan keterangan apa pun, sepanjang pengetahuan kami, ke polisi dan KPPU,” tandas Usman Perdanakusuma, Direktur Utama PT. Garam.

Namun, Usman mengakui, praktik kartel juga sangat mungkin terjadi di komoditas garam. Ia menyebut, dari dulu, setiap jenis perdagangan di Indonesia, termasuk garam, menyimpan potensi kartel. Ini lantaran regulasi yang ada belum dibuat secara terang-benderang. “Kartel garam memang ada. Saya mengamini itu,” katanya yakin.

Lucunya, Jakfar Sodikin, Ketua Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (A2PGRI), mengaku tak paham soal dugaan kartel garam yang dilayangkan KPPU. Sepengetahuannya, harga jual garam petani juga sangat dipengaruhi oleh hambatan di sisi distribusi.

Sebagai gambaran, saat ini harga garam Madura kualitas KW1 dibanderol Rp 750 per kilogram dan KW2 antara Rp 625-Rp 650 per kg. Sementara garam KW3 antara Rp 540-Rp 580 per kg. Ini harga saat garam sudah sampai di Surabaya.

Di tingkat petani, harganya lebih murah, berselisih sekitar Rp 120 per kg karena ongkos distribusi yang lumayan mahal. Rumusnya, semakin jauh ladang garam petani dari collecting point, makin besar pula ongkos angkut yang mesti ditanggung.

Alurnya, dari ladang, garam dibawa ke pinggir sungai dengan ongkos Rp 20-Rp 50 per kg, tergantung jarak. Selanjutnya, diangkut dengan perahu yang ongkosnya sekitar Rp 40 per kg. Lalu, dari perahu dinaikkan ke truk yang menunggu di collecting point, ongkosnya Rp 30 per kg. “Dari tambak ke collecting point saja sudah kepotong Rp 120 per kg sendiri. Dari collecting point ke Surabaya ongkosnya Rp 80 per kg,” terang Jakfar.

Jika letak ladang garam berada di pinggir jalan yang menjadi collecting point, ongkosnya cuma sekitar Rp 15 per kg. Masalahnya, sekitar 80% tambak di Sampang, Madura, berada jauh dari collecting point.

Belum lagi fakta bahwa hampir 50% garam hasil produksi petani kualitasnya di level KW3. Sementara, garam KW1 produksinya cuma sekitar 20%-25%. “Jadi nggak aneh kalau banyak petani garam yang mengeluh harga garamnya murah,” imbuh petani yang punya tambak garam seluas 42 hektare (ha) di Madura, ini.

Terkait indikasi kongkalikong importir garam bersepakat menentukan harga garam petani sehingga tampak seragam, Jakfar juga mengaku tak tahu persis. Yang jelas, ada kecenderungan harga garam memang melandai dari sejak awal panen hingga akhir musim. Bulan Juli, harga masih tinggi lantaran panen garam masih sedikit. Namun makin ke sini, hasil panen garam, sesuai karakteristiknya, makin bertambah banyak. Otomatis, harga pun turun secara bertahap.

Ambil contoh, harga garam KW3 di Surabaya pada awal musim sempat menyentuh Rp 590 per kg. Namun sekarang harganya sudah turun perlahan ke Rp 540 per kg. Jelang musim berakhir, biasanya akan turun ke Rp 520-Rp 515 per kg. “Di Madura, siapa pembeli yang melempar harga lebih dulu, itu yang jadi panutan pasar. Kalau itu dibilang kartel, saya tidak ngerti,” tukasnya.

Ah, lagi-lagi akibat ulah pemerintah sendiri!    

Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 48-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×