kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

2 Tahun Jokowi-JK: Pil pahit dari target selangit


Senin, 17 Oktober 2016 / 12:37 WIB
2 Tahun Jokowi-JK: Pil pahit dari target selangit


Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Pada bulan ini, pemerintahanJoko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) genap berusia dua tahun. Dengan membentuk kabinet kerja, Jokowi-JK berharap bisa segera memicu pertumbuhan ekonomi. Salah satunya dengan menggenjot belanja infrastruktur.

Namun, sayangnya, strategi itu tidak dibarengi dengan kemampuan dalam mendongkrak penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan negara. Akibatnya, hampir setiap tahun, pemerintah selalu kerepotan dengan masalah fiskal yang minus alias tekor.

Ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam menilai, kondisi ini terkait dengan lemahnya kemampuan menyusun anggaran yang jitu, khususnya dalam menetapkan asumsi ekonomi makro. Tentu saja, ini berimbas pada postur anggaran.

Apalagi, pemerintah selalu memaksakan diri untuk memasang target penerimaan pajak lebih tinggi dari realisasi APBN-P tahun sebelumnya. Padahal, realisasinya selalu tidak tercapai.

Alhasil, target yang ditetapkan itu juga selalu meleset. Sebagai gambaran,   target perpajakan yang dipasang Jokowi pada APBN-P 2015 dipatok sebesar Rp 1.489,26 triliun, naik dari APBN-P 2014 yang sebesar Rp 1.246,11 triliun. Sedangkan dalam APBN-P 2016, pemerintah juga melakukan hal yang sama, menaikan target penerimaan perpajakan menjadi sebesar Rp 1.539 triliun.

Bahkan, gara-gara sulitnya mengejar target tinggi, Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito harus mundur pada akhir 2015 lalu. Ia digantikan oleh Ken Dwijugiasetiadi yang masih menjabat hingga kini. Untuk menutupi defisit penerimaan, Ken melakukan berbagai upaya ekstra yang tidak normal, seperti mengincar objek pajak baru.

Kondisi serupa sebenarnya juga terulang di tahun 2016 ini. Namun, beruntung, tahun ini, pemerintah mengeluarkan program pengampunan pajak, atau amnesti pajak (tax amnesty).

Faktor Sri Mulyani

Sampai Oktober ini, program amnesti pajak ini mampu menambah penerimaan negara sekitar Rp 93 triliun. Dana itu berasal dari pembayaran uang tebusan yang disetorkan oleh para peserta amnesti pajak.

Selain itu, kembalinya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan membawa angin segar. Ia berani memotong siklus lingkaran setan setiap penyusunan anggaran. Lihat saja, setelah sepekan dilantik, mantan Managing Director Bank Dunia ini langsung memangkas target penerimaan pajak sebesar
Rp 219 triliun. Hal itu diikuti dengan pemangkasan target belanja sebesar Rp 133 triliun.

Kebijakan itu berlanjut dalam mengubah penyusunan RAPBN 2017 menjadi lebih rasional. Hal itu terlihat dari target perpajakan yang diturunkan lebih rendah dari APBN-P 2016 menjadi hanya Rp 1.495,89 triliun.

Sri Mulyani mengakui, penyusunan anggaran yang tidak kredibel membuat otoritas pajak harus membabi buta supaya bisa memenuhinya. Akibatnya, langkah agresif tersebut berisiko bagi  dunia usaha secara ekseluruhan.

Langkah Sri Mulyani ini dinilai telah memberikan sinyal positif bagi kalangan dunia usaha dan internasional. Oleh karenanya, ia berani kembali menghadap lembaga pemeringkat rating surat utang Standard & Poor's (S&P). Sri  Mulyani mendesak S&P meninjau keputusannya menolak permintaan Jokowi menaikkan rating Indonesia menjadi investment grade tahun ini.

Ekonom Kenta Institut Eric Sugandi berpendapat, rendahnya kemampuan perpajakan menjadi masalah yang belum terpecahkan selama pemerintahan Jokowi-JK. Meskipun kini sudah melaksanakan program amnesti pajak, hal itu belum bisa menjamin, di kemudian hari, tidak terjadi kegagalan dalam menjaga risiko fiskal.

Oleh karenanya, reformasi di sistem perpajakan serta di sisi lembaga perpajakan mutlak dilakukan. Pengajuan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) menjadi langkah awal setelah program amnesti pajak.

Eric menilai, salah satu penyebab rendahnya kualitas penyusunan anggaran adalah lantaran pemerintah terlalu ambisius memasang target pertumbuhan ekonomi. Pada APBN-P 2015, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7%, padahal ekonomi global sedang lesu. Realisasinya, pertumbuhan 2015 hanyalah 5,02%. Lantas, di APBN-P 2016, pemerintah memasang target pertumbuhan sebesar 5,2%. Namun, Sri Mulyani memprediksi, hingga akhir tahun, ekonomi hanya akan tumbuh 5%. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×