kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

YLKI: Penerapan KRIS Akomodasi Kepentingan Asuransi Komersial


Jumat, 17 Mei 2024 / 18:21 WIB
YLKI: Penerapan KRIS Akomodasi Kepentingan Asuransi Komersial
ILUSTRASI. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai penetapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59/2024 berpeluang menggelar karpet merah bagi industri asuransi komersial


Reporter: Aurelia Lucretie | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai penetapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59/2024 berpeluang menggelar karpet merah bagi industri asuransi komersial untuk menggerus dan mendegradasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 

Hal tersebut disampaikan Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi. Menurutnya, penerapan KRIS menimbulkan migrasi peserta BPJS Kesehatan kelas 1 ke asuransi kesehatan komersial.

"Karena peserta kelas 1 tidak mau di-down-grade dengan satu kamar empat orang. Jadi ada pihak yang diuntungkan dengan implementasi JKN KRIS. Dan di sisi lain, program JKN-BPJSKes akan tergerus dan nantinya secara praksis justru akan terjadi "kasta baru" dalam pelayanan kesehatan," terangnya saat dihubungi Kontan, Jumat (17/5). 

Kasta pelayanan kesehatan yang dimaksud Tulus yakni pembedaan antara rumah sakit (RS) Komersial dengan RS yang melayani JKN. 

Agus Sujatno yang juga Pengurus Harian YLKI menambahkan, dengan penerapan KRIS pihak RS akan berlomba dalam memperbanyak ruang VIP guna mengakomodir peserta JKN yang tidak mau menggunakan kelas standar dan menyebabkan pengelompokan RS.

"Fenomena ini juga berpotensi menimbulkan kluster rumah sakit. Rumah sakit yang menerima BPJS akan dianggap sebagai rumah sakit kelas dua, sedangkan rumah sakit yang tidak bekerjasama akan dianggap sebagai rumah sakit premium," terang Agus kepada Kontan, Jumat (17/5). 

Baca Juga: Kebijakan KRIS, BPJS Kesehatan Harus Bisa Jamin Akses Ruang Perawatan

Dia juga mengkritisi tuntutan renovasi RS untuk memenuhi syarat minimal 60% ruang kelas rawat inap standar untuk RS pemerintah, serta 40% untuk RS swasta. Hal ini dinilainya memberatkan rumah sakit lebih-lebih rumah sakit swasta. 

Menurutnya, perlu ada tim pengawas yang mengawasi penyesuaian ruang kelas standar, sehingga tidak terjadi ketimpangan infrastruktur antara rumah sakit yang satu dengan lainnya.

"Ketika menerapkan KRIS, juga harus dibarengi layanan standar yang sama, yang mencakup tenaga medis, obat-obatan dan fasilitas peralatan," katanya.

Kata Agus, yang dibutuhkan masyarakat sebagai konsumen ialah standardisasi pelayanan alih-alih menetapkan standarisasi kelas rawat inap. Sebab, standardisasi pelayanan dapat meredam kesenjangan dalam pelayanan kesehatan seperti yang dikhawatirkan pasien selama ini. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×