Reporter: Bidara Pink | Editor: Adinda Ade Mustami
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Bank Dunia (World Bank) mengapresiasi langkah-langkah bank sentral di banyak negara-negara berkembang atau emerging market and developing economies (EMDEs) yang diambil untuk meredam dampak pandemi Covid-19. Namun, World Bank juga mengingatkan bahwa ada hal-hal yang bisa menghambat efektivitas kebijakan tersebut, bahkan menjadi bumerang bagi bank sentral sendiri.
Seperti diketahui, banyak bank bentral EMDEs melonggarkan kebijakan moneternya dalam menghadapi tekanan perekonomian akibat Covid-19. Bahkan, pelonggaran tersebut dilakukan pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Baca Juga: Update corona, kasus positif di Jakarta tren naik sejak PSBB transisi
Selain pelonggaran kebijakan moneter, bank-bank sentral juga akhirnya turun tangan dalam memborong obligasi pemerintah. Juga sekuritas sektor swasta untuk menstabilkan yield di tengah tekanan likuiditas.
Bank Indonesia (BI) pun melakukannya. Mulai dari menurunkan bunga acuan hingga ke level 4,5%, melakukan quantitative easing (QE) untuk menyuntik likuiditas, hingga diberikan kewenangan untuk bisa melakukan pembelian obligasi negara di pasar perdana.
Baca Juga: Pengusaha: Ada 6 juta pegawai terdampak Covid-19
Meski demikian, "Efektivitasnya (kebijakan itu) bisa berkurang kalau masih ada lockdown atau pembatasan di negara-negara. Pelonggaran kebijakan moneter bisa kurang efektif kalau diterapkan di negara dengan banyak sektor informal dan inklusi keuangan yang rendah," terang World Bank dalam buku berjudul Global Economic Prospects edisi Juni 2020.
Bahkan menurut pandangan World Bank, program pembelian aset oleh bank sentral sebagian besar EMDEs, juga bisa tidak efektif kalau tidak diiringi dengan kebijakan yang kredibel serta komunikasi yang transparan.
Langkah tersebut juga menimbulkan resiko meningkatnya ketidakpercayaan investor global terhadap kredibilitas bank-bank sentral. Mereka bisa berpikir kalau bank sentral hanyalah sebuah alat untuk membiayai defisit fiskal yang besar.
Dengan berkurangnya kepercayaan investor global, maka ada risiko larinya modal asing dari dalam negeri, resiko premi dan imbal hasil obligasi pemerintah, serta bertambahnya tekanan inflasi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, pembelian surat utang negara secara langsung di pasar perdana yang dilakukan bank sentral negara berkembang, bisa membuat independensi bank sentral menurun.
Selain itu, masalah lain bisa muncul ketika bank sentral yang mendanai pelebaran defisit anggaran. Sebab, jika dana hasil suntikan BI tidak efektif dan cenderung masuk ke belanja yang konsumtif maka transfer resiko juga akan diterima oleh BI.
"Jadi ada konsekuensi yang cukup berat ketika BI melakukan pembiayaan terhadap defisit fiskal," kata Bhima kepada KONTAN, Selasa (9/6).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News