Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Ketegangan geopolitik yang meningkat di Timur Tengah, khususnya konflik antara Israel dan Iran, membawa konsekuensi ekonomi global yang turut berdampak pada kinerja penerimaan pajak Indonesia.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai bahwa efek paling langsung dari konflik terjadi pada sisi konsumsi dan daya beli masyarakat.
Ia menuturkan, lonjakan harga minyak akibat konflik berpotensi mendorong biaya logistik dan produksi dalam negeri, yang kemudian menciptakan tekanan inflasi impor.
Baca Juga: Iran Murka! Ini Daftar Pangkalan Militer AS di Timur Tengah yang Terancam Diserang
Dalam kondisi tersebut, konsumsi rumah tangga bisa bergeser ke barang-barang kebutuhan pokok yang umumnya tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN).
Akibatnya, meski nilai transaksi bisa meningkat karena inflasi, volume konsumsi dapat menurun dan melemahkan kinerja penerimaan PPN.
Di sisi pajak penghasilan (PPh), terutama PPh Badan, Yusuf menyoroti potensi tekanan terhadap profitabilitas perusahaan.
Menurutnya, ketidakpastian global akibat perang bisa memukul ekspor dan menekan permintaan luar negeri terhadap komoditas unggulan Indonesia.
"Ini akan berdampak pada profitabilitas perusahaan, terutama yang bergantung pada ekspor, sehingga basis PPh Badan menyusut," ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Senin (23/6).
Namun, Yusuf juga membuka ruang kemungkinan adanya windfall profit bagi sektor energi seperti batu bara dan sawit, jika harga komoditas global melonjak.
Baca Juga: Iran Murka! Ini Daftar Pangkalan Militer AS di Timur Tengah yang Terancam Diserang
Sektor ini bisa memberikan kontribusi positif terhadap penerimaan PPh maupun PPN ekspor, meskipun sifatnya sektoral dan temporer.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai, konflik Israel-Iran saat ini memunculkan risiko besar terhadap stabilitas harga minyak dan ekonomi global.
Meski berpotensi meningkatkan penerimaan dari sektor migas, tekanan terhadap biaya impor minyak mentah juga harus diperhatikan.
Menurutnya, kenaikan harga minyak dapat berpengaruh positif bagi peningkatan penerimaan PPh Badan.
Namun di sisi lain, konflik tersebut juga meningkatkan tekanan terhadap biaya impor minyak mentah.
"Penerimaan pajak akan terdampak jika asumsi makro yang digunakan di UU APBN 2025 lebih kecil dari realitanya. Alasannya adalah sebagian penerimaan pajak berasal dari sektor migas," kata Prianto.
Baca Juga: Iran Dibombardir Israel! 2 Petinggi Militer Tewas, Konflik Timur Tengah Memanas
Prianto merujuk pada data APBN KiTa edisi Juni 2025 yang mencatat kontribusi sektor migas terhadap pajak sebesar 7,11% dalam periode Januari–Mei.
Namun, penerimaan justru turun 12,2% di Maret–Mei karena harga minyak dunia melemah.
Per akhir Mei, harga minyak mentah tercatat hanya US$ 62,75 per barel, jauh di bawah asumsi APBN 2025 sebesar US$82 per barel.
Oleh karena itu, Prianto menilai pemerintah belum perlu mengubah proyeksi penerimaan pajak di 2025 karena dampak perang Israel-Iran dan fluktuasi harga minyak mentah yang tidak stabil.
"Pemerintah masih punya waktu 6 bulan lebih di 2025 untuk terus berupaya menambah pundi-pundi pajak agar target tercapai," katanya.
Selanjutnya: ExxonMobil Produksi 100 Juta Liter Pelumas, 70% Pasok Pertambangan dan Manufaktur
Menarik Dibaca: ExxonMobil Produksi 100 Juta Liter Pelumas, 70% Pasok Pertambangan dan Manufaktur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News