Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Kondisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia terutama dari sektor swasta menjadi perhatian serius Bank Indonesia (BI). BI pun saat ini sedang melakukan berbagai studi kebijakan untuk mengendalikan utang korporasi tersebut.
Setidaknya ada tiga kajian yang saat ini sedang dilakukan BI. Pertama, utang korporasi memiliki batas maksimal berapa kali dari aset. Apabila sudah melebihi batas maksimal aset, korporasi tidak boleh berutang.
Kedua, rating alias peringkat. Akan ada rating dari utang yang dikeluarkan korporasi. Ketiga, keharusan korporasi untuk melakukan hedging atawa lindung nilai. Saat ini aktivitas hedging hanya bersifat himbauan.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, BI saat ini sedang melakukan berbagai kajian opsi untuk mencermati dan mengendalikan ULN swasta. Salah satu opsi yang sudah dikeluarkan oleh BI adalah hedging nilai tukar.
Hedging menjadi cara untuk mengendalikan risiko terkait fluktuasi suku bunga dan nilai tukar. BI pun menggandeng otoritas pemerintah seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan aparat penegak hukum untuk meyakinkan bahwa transaksi hedging adalah transaksi bisnis biasa dan bukan merupakan kerugian negara.
Memang dalam hal ini, transaksi hedging yang dilakukan hanya bersifat himbauan saja. Opsi untuk menjadi sebuah keharusan sedang digali lebih lanjut oleh BI.
"Kita lihat perusahaan yang lakukan hedging apakah sudah berkembang atau tidak. Risiko nilai tukar meningkat atau tidak," ujar Perry akhir pekan lalu. Keharusan hedging sendiri akan melihat perkembangan tersebut.
Dirinya melanjutkan, selain hedging BI pun sedang melakukan studi besaran utang yang diukur melalui aset. Selain risiko yang terkait dengan nilai tukar, ada risiko yang terkati dengan gagal bayar alias default.
Gagal bayar utang inilah yang kemudian perlu dilakukan mitigasi manajemen. Caranya adalah dengan membatasi utang dari jumlah aset korporasi.
Sayangnya, sama halnya dengan membuat rating, kajian aset ini masih dalam studi. Perry tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai gambaran kebijakan yang akan diambil BI. "Itu beberapa yang kita ingin eksplor lebih lanjut," tandasnya.
Utang luar negeri pada bulan April 2014 tercatat mencapai US$ 276,59 miliar atau tumbuh 7,6% dibanding posisi bulan sebelumnya. ULN swasta sendiri tercatat US$ 145,63 miliar.
Rasio utang terhadap PDB pada triwulan I mencapai 32,35% atau naik dibanding rasio utang triwulan terakhir 2013 yang sebesar 30,37%. Rasio utang terhadap ekspor pun naik dari 122,5% pada akhir tahun 2013 menjadi 128,41% pada triwulan I 2014.
Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih berpendapat risiko yang diakibatkan dari tingginya ULN swasta memang sudah harus diwaspadai oleh BI. Sependapat dengan BI, dirinya menilai memang perlu ada langkah selain hedging yang hanya bersifat himbauan.
Hedging pun harus dibuat wajib. Kalau hanya bersifat himbauan, tidak menjadi jaminan korporasi akan menggunakan fasilitas hedging. Selain hedging, yang perlu juga dilakukan adalah membatasi utang berdasarkan aset. "Paling tidak tiga kali maksimum dari aset," tandas Lana.
Lewat dari tiga kali maka korporasi bersangkutan tidak mendapat insentif pajak. Area ini merupakan area pemerintah. Maka dari itu, perlu dilakukan kerja sama yang erat antara BI dan pemerintah.
Yang terakhir, menurut Lana, perlu dibuat deposito. Korporasi harus membuat deposito yang berisikan minimum tiga kali dari cicilan utangnya. Deposito ini akan masuk dalam perbankan dalam negeri dan menjadi jaminan apabila sewaktu-waktu terjadi gagal bayar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News