Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie, kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia disebut-sebut berpotensi mengalami resesi seks. Pernyataan itu ditegaskan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo.
Menurut Hasto, hal itu bisa terlihat dari usia pernikahan penduduk Indonesia yang semakin meningkat. Jika sebelumnya mayoritas pernikahan terjadi pada pasangan usia muda, kini trennya banyak pasangan yang menunda pernikahan.
"Potensi itu (resesi seks Indonesia) ada, ada ya, tapi sangat panjang, karena kan gini usia pernikahan semakin lama kan semakin meningkat. (Ini bicara ) pernikahan loh bukan seks," kata Hasto kepada wartawan di Hotel Shangri La, Jakarta, Selasa (6/12/2022).
"Usia pernikahan itu mundur, karena semakin menempuh studi, karier dan sebagainya," kata dia dikutip dari KompasTV.
Fenomena itu, kata Hasto, banyak terjadi di kota-kota besar. Selain usia pasangan menikah yang semakin mundur, tren keluarga kecil dengan jumlah anak sedikit juga sedang terjadi.
Baca Juga: Kebijakan Nol-COVID Dilonggarkan, China Bakal Hadapi Wabah Besar Corona
"Jadi bisa saja terjadi minus growth atau zero growth sekarang ini kan beberapa daerah sudah minus growth, zero growth seperti beberapa kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah minus growth jumlah anaknya sedikit," jelasnya.
Meskipun Indonesia berpotensi alami resesi seks, namun hal tersebut menurutnya masih lama. Hal tersebut bisa terjadi setelah generasi anak muda yang hidup di tahun 2045, mayoritas memutuskan tidak menikah dan tidak punya anak alias child free.
Dampak resesi seks bagi Indonesia
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, menyebutkan dampak yang terjadi apabila Indonesia alami resesi seks. Salah satunya resesi seks akan menyebabkan jumlah keluarga berkurang. Berkurangnya jumlah keluarga pada gilirannya berisiko menyebabkan jumlah kelahiran anak menjadi menurun.
Selanjutnya, turunnya angka kelahiran menyebabkan beban populasi produktif selama 5-10 tahun mendatang menjadi semakin besar.
"Ini artinya orang-orang yang produktif akan menanggung (beban) karena yang bekerja tidak banyak," kata Drajat kepada Kompas.com, Sabtu (10/11/2022).
Dampak lain yang ditimbulkan akibat resesi seks adalah lesunya ekonomi. Drajat mengatakan, menurunnya jumlah keluarga otomatis dibarengi juga dengan berkurangnya keinginan untuk membeli rumah atau kebutuhan rumah tangga.
Rendahnya anak kelahiran, menurut Drajat, juga menimbulkan penurunan ekonomi karena semakin banyak orang tidak lagi membeli barang-barang kebutuhan anak.
"Itu 'kan kebutuhan besar untuk memutar ekonomi masyarakat," katanya.
Pengaruh untuk keluarga dan masyarakat
Drajat juga menyampaikan, resesi seks secara sosiologis menyebabkan fungsi kontrol masyarakat, fungsi kebersamaan masyarakat, dan fungsi moralitas masyarakat menjadi hilang.
"Karena masyarakat ketika kumpul bersama orang lain itu 'kan muncul berbagai kebutuhan sosial," ujar Drajat.
"Ada tokoh masyarakat, tokoh keluarga. Nanti tanggung jawab ibu atau ayah ini hilang karena (orang) mengelola sendiri kehidupannya."
"Tanggung jawab kepada masyarakat atau orang lain juga berkurang karena ia (orang yang tidak menikah) cenderung mem-protect dirinya sendiri," lanjutnya.
Drajat menambahkan, keenganan orang Indonesia di masa yang akan datang untuk menikah juga bisa menimbulkan alineasi sosial atau keterasingan.
Baca Juga: Apa Itu Resesi Seks yang Kini Jadi Fenomena di Jepang dan Korea Selatan?
Penyebab resesi seks Indonesia
Risiko-risiko yang sudah disebutkan, kata Drajat, dapat terjadi apabila generasi muda saat ini atau yang akan datang memilih hidup sendiri. Ia menjelaskan, keinginan untuk hidup seorang diri muncul karena orang merasa tidak dibebani dengan tanggung jawab pada pasangan bahkan anak.
Keengganan generasi muda di Indonesia untuk menikah juga dikatakan Drajat terlihat dalam riset yang dilakukannya tentang perempuan otonom.
Perempuan otonom berusia 26-30 tahun yang diwawancara Drajat memilih untuk tidak menikah karena lebih mengutamakan profesi. Mereka juga enggan untuk berumah tangga dengan alasan melanjutkan studi dan ingin mengatur ekonomi dan hiudpnya sendiri.
"Kemudian, mereka (orang tidak menikah) bisa mengelola waktu yang dimiliki, jadi kalau capek ya tidur dan tidak ada yang mengganggu," jelas Drajat.
Drajat juga menyampaikan, keenganan generasi muda menikah karena mereka tidak mau terlibat dalam pertengkaran dalam keluarga. Menurutnya, konflik dalam rumah tangga dikhawatirkan oleh generasi muda karena dapat mengacaukan pekerjaan dan mengganggu mental selama berhari-hari.
"Keuntungan secara emosional tidak sebanding dengan itu (pertengkaran) sehingga keluarga itu dianggap tidak terlalu menguntungkan," jelasnya.
Resesi seks di Jepang
Sebelumnya diberitakan, esesi seks melanda Jepang dan Korea Selatan seiring adanya perubahan gaya hidup.
Melansir Daily Star, di tahun 2020-an, kebebasan seksual saat ini menjadi hal yang tidak terbayangkan oleh orang-orang 100 tahun yang lalu.
Namun, yang mengejutkan, semakin banyak orang yang berpaling dari seks.
Resesi seks ini menjadi fenomena dunia. Akan tetapi Jepang, secara khusus, tampaknya menunjukkan jalan menuju masa depan tanpa seks.
Data yang dihimpun Daily Star pada Januari 2000 menunjukkan, 10% pria Jepang masih perjaka di usia 30-an. Runtuhnya dorongan seks di negara itu juga berdampak pada angka kelahiran, dengan anak menjadi semakin langka.
Tidak ada yang yakin mengapa Jepang memimpin dunia dalam tren yang mengkhawatirkan ini. Jam kerja yang panjang terkadang disalahkan. Pun demikian dengan meningkatnya popularitas internet.
Banyak komentator menunjuk munculnya robot sebagai penyebab. Orang Jepang adalah produsen robot terbesar di dunia, dan pengguna robot terbesar di dunia.
Dengan 300 robot untuk setiap 10.000 orang, orang Jepang semakin nyaman bekerja bersama robot dan relaksasi menyebar dari tempat kerja. Robot seks, mitra holografik, dan pendamping digital lebih populer di Jepang daripada di wilayah lain mana pun.
Kini, Jepang mengalami krisis populasi muda. Mengutip The Guardian, lingkungan Sugamo di Tokyo telah lama menjadi kiblat bagi anggota populasi ibu kota yang lebih tua. Tetapi demografi miring Jepang menunjukkan bahwa, dalam beberapa dekade mendatang, kota semacam ini akan terus bermunculan.
Ini adalah gambaran sekilas masa depan Jepang di mana banyak populasi orang tua dan berpenduduk lebih sedikit. Dampaknya tidak main-main, yakni tenaga kerja yang berkurang dan ekonomi yang menyusut.
Baca Juga: 6 Tanda-tanda Tubuh Manusia Mengalami Penuaan
Populasi Jepang yang merupakan ekonomi terbesar ketiga di dunia, telah menurun selama beberapa tahun dan mengalami rekor penurunan 644.000 pada 2020-21, menurut data pemerintah. Diperkirakan, jumlah populasi akan semakin anjlok dari posisi saat ini 125 juta menjadi sekitar 88 juta pada tahun 2065. Itu artinya terjadi penurunan sebesar 30% dalam 45 tahun.
Saat jumlah orang yang berusia di atas 65 tahun terus bertambah – kini jumlahnya mencapai lebih dari 28% populasi – angka kelahiran tetap sangat rendah.
Seorang wanita Jepang dapat berharap memiliki rata-rata 1,3 anak selama hidupnya – jauh di bawah 2,1 yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran populasi saat ini.
Dorongan resmi untuk memiliki lebih banyak anak dan peringatan bahwa penurunan populasi dalam jangka panjang akan merusak kesehatan ekonomi, tidak banyak berpengaruh.
Pada tahun 2021, jumlah kelahiran di Jepang mencapai 811.604. Ini merupakan level terendah sejak pencatatan pertama kali dilakukan pada tahun 1899.
Resesi seks di Korea Selatan
Kisah serupa juga terjadi di Korea Selatan, yang memiliki tingkat kesuburan terendah di dunia dan populasi yang menua dengan cepat.
Penyebabnya adalah munculnya kekhawatiran tentang tekanan pada ekonomi dan sistem pensiun, yang mungkin akan habis dalam beberapa dekade mendatang.
Data The Guardian menunjukkan, populasi menyusut untuk pertama kalinya dalam catatan pada tahun 2021, dan diproyeksikan akan turun lebih jauh, dari saat ini 52 juta menjadi 38 juta, pada tahun 2070. Tingkat kesuburan negara tahun lalu adalah 0,81, terendah di dunia.
Pemerintah daerah telah melaksanakan program untuk mendorong masyarakat memiliki anak. Mereka diberi bantuan uang tunai, bantuan perawatan kesuburan, dukungan untuk biaya pengobatan, dan pinjaman.
Tapi Jung Chang-lyul, seorang profesor kesejahteraan sosial di Universitas Dankook, mengatakan insentif tunai "sama sekali tidak berguna".
“Sementara masalah angka kelahiran yang rendah mungkin tampak penting di permukaan, masalah sebenarnya adalah tidak ada yang bertanggung jawab,” kata Jung, merujuk pada tingginya biaya membesarkan anak dan harga real estat – paling tidak di Seoul, di mana rata-rata harga apartemen di telah naik dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Indonesia Berpotensi Alami Resesi Seks, Ini Dampaknya Menurut Sosiolog"
Penulis : Yefta Christopherus Asia Sanjaya
Editor : Rizal Setyo Nugroho
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News