kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Warning, Indonesia Berpotensi Mengalami Resesi Seks seperti Jepang dan Korea Selatan


Senin, 12 Desember 2022 / 04:22 WIB
Warning, Indonesia Berpotensi Mengalami Resesi Seks seperti Jepang dan Korea Selatan
ILUSTRASI. Indonesia disebut-sebut berpotensi mengalami resesi seks.


Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie, kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

Sebelumnya diberitakan, esesi seks melanda Jepang dan Korea Selatan seiring adanya perubahan gaya hidup. 

Melansir Daily Star, di tahun 2020-an, kebebasan seksual saat ini menjadi hal yang tidak terbayangkan oleh orang-orang 100 tahun yang lalu.

Namun, yang mengejutkan, semakin banyak orang yang berpaling dari seks.

Resesi seks ini menjadi fenomena dunia. Akan tetapi Jepang, secara khusus, tampaknya menunjukkan jalan menuju masa depan tanpa seks.

Data yang dihimpun Daily Star pada Januari 2000 menunjukkan, 10% pria Jepang masih perjaka di usia 30-an. Runtuhnya dorongan seks di negara itu juga berdampak pada angka kelahiran, dengan anak menjadi semakin langka.

Tidak ada yang yakin mengapa Jepang memimpin dunia dalam tren yang mengkhawatirkan ini. Jam kerja yang panjang terkadang disalahkan. Pun demikian dengan meningkatnya popularitas internet.

Banyak komentator menunjuk munculnya robot sebagai penyebab. Orang Jepang adalah produsen robot terbesar di dunia, dan pengguna robot terbesar di dunia.

Dengan 300 robot untuk setiap 10.000 orang, orang Jepang semakin nyaman bekerja bersama robot dan relaksasi menyebar dari tempat kerja. Robot seks, mitra holografik, dan pendamping digital lebih populer di Jepang daripada di wilayah lain mana pun.

Kini, Jepang mengalami krisis populasi muda. Mengutip The Guardian, lingkungan Sugamo di Tokyo telah lama menjadi kiblat bagi anggota populasi ibu kota yang lebih tua. Tetapi demografi miring Jepang menunjukkan bahwa, dalam beberapa dekade mendatang, kota semacam ini akan terus bermunculan. 

Ini adalah gambaran sekilas masa depan Jepang di mana banyak populasi orang tua dan berpenduduk lebih sedikit. Dampaknya tidak main-main, yakni tenaga kerja yang berkurang dan ekonomi yang menyusut.

Baca Juga: 6 Tanda-tanda Tubuh Manusia Mengalami Penuaan

Populasi Jepang yang merupakan ekonomi terbesar ketiga di dunia, telah menurun selama beberapa tahun dan mengalami rekor penurunan 644.000 pada 2020-21, menurut data pemerintah. Diperkirakan, jumlah populasi akan semakin anjlok dari posisi saat ini 125 juta menjadi sekitar 88 juta pada tahun 2065. Itu artinya terjadi penurunan sebesar 30% dalam 45 tahun.

Saat jumlah orang yang berusia di atas 65 tahun terus bertambah – kini jumlahnya mencapai lebih dari 28% populasi – angka kelahiran tetap sangat rendah. 

Seorang wanita Jepang dapat berharap memiliki rata-rata 1,3 anak selama hidupnya – jauh di bawah 2,1 yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran populasi saat ini.

Dorongan resmi untuk memiliki lebih banyak anak dan peringatan bahwa penurunan populasi dalam jangka panjang akan merusak kesehatan ekonomi, tidak banyak berpengaruh.

Pada tahun 2021, jumlah kelahiran di Jepang mencapai 811.604. Ini merupakan level terendah sejak pencatatan pertama kali dilakukan pada tahun 1899. 

Resesi seks di Korea Selatan

Kisah serupa juga terjadi di Korea Selatan, yang memiliki tingkat kesuburan terendah di dunia dan populasi yang menua dengan cepat. 

Penyebabnya adalah munculnya kekhawatiran tentang tekanan pada ekonomi dan sistem pensiun, yang mungkin akan habis dalam beberapa dekade mendatang.

Data The Guardian menunjukkan, populasi menyusut untuk pertama kalinya dalam catatan pada tahun 2021, dan diproyeksikan akan turun lebih jauh, dari saat ini 52 juta menjadi 38 juta, pada tahun 2070. Tingkat kesuburan negara tahun lalu adalah 0,81, terendah di dunia.

Pemerintah daerah telah melaksanakan program untuk mendorong masyarakat memiliki anak. Mereka diberi bantuan uang tunai, bantuan perawatan kesuburan, dukungan untuk biaya pengobatan, dan pinjaman.

Tapi Jung Chang-lyul, seorang profesor kesejahteraan sosial di Universitas Dankook, mengatakan insentif tunai "sama sekali tidak berguna".

“Sementara masalah angka kelahiran yang rendah mungkin tampak penting di permukaan, masalah sebenarnya adalah tidak ada yang bertanggung jawab,” kata Jung, merujuk pada tingginya biaya membesarkan anak dan harga real estat – paling tidak di Seoul, di mana rata-rata harga apartemen di telah naik dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Indonesia Berpotensi Alami Resesi Seks, Ini Dampaknya Menurut Sosiolog"
Penulis : Yefta Christopherus Asia Sanjaya
Editor : Rizal Setyo Nugroho

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×