kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.205   64,04   0,90%
  • KOMPAS100 1.107   12,22   1,12%
  • LQ45 878   12,25   1,41%
  • ISSI 221   1,22   0,55%
  • IDX30 449   6,60   1,49%
  • IDXHIDIV20 540   5,96   1,12%
  • IDX80 127   1,50   1,19%
  • IDXV30 135   0,68   0,51%
  • IDXQ30 149   1,81   1,23%

Warga Bima mengadu ke DPR, polisi dianggap tidak jalankan protap


Kamis, 29 Desember 2011 / 17:56 WIB
ILUSTRASI. Ingin cepat kerja? Bekali diri dengan 10 skill yang dibutuhkan di dunia kerja ini.


Reporter: Eka Saputra | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Sekelompok warga Bima Nusa Tenggara Barat mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka melaporkan kekerasan yang menimpa mereka saat tengah berunjuk rasa di Pelabuhan Sape, Bima beberapa waktu silam. Dalam kesempatan itu mereka ditemui anggota Komisi III Ahmad Basarah dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI-P).

Perwakilan masyarakat Delian Lubis sempat menceritakan kronologis aksi mereka. Ia menilai masalah bermula karena setelah satu tahun, pemerintah daerah tidak juga memperhatikan permintaan masyarakat agar Surat Keputusan Bupati No 188/2010 tentang Izin Usaha Pertambangan kepada PT Sumber Mineral Nusantara (SMN).

“Februari 2011, kita mempertanyakan aktivitas PT SMN. Camat Lambu bilang akan membantu mempertemukan masyarakat dengan bupati. Kami diarahkan ke kantor camat, setelah menunggu berjam-jam, camat bilang bupati tidak bisa hadir. Masyarakat kecewa mendorong-dorong pintu, dihadapkan dengan kelompok preman yang di mobilisasi. Terdengar letusan senjata polisi maka terjadilah pembakaran kantor camat,” paparnya di ruang fraksi PDI-P (29/12).

Karena tuntutannya tak kunjung digubris itulah akhirnya masyarakat memilih menduduki Pelabuhan Sape di bulan ini. Apalagi Bupati Bima tampak malah menantang masyarakat, dan mengatakan tidak bisa mencabut SK tersebut. “Bupati malah mengatakan masih didukung 70% suara masyarakat, empat hari kami menduduki pelabuhan. Kapolda (Kepala Polisi Daerah) bilang siap melakukan negosiasi, tapi nyatanya kami malah dibantai pada pagi hari. Tiga orang meninggal tertembak,” katanya lagi.

Ia membantah bila kejadian di Peabuan Sape disebut bentrok. Menurutnya yang terjadi adalah pembantaian, karena tampak ada penembak jitu yang memang ditempatkan di beberapa titik. Hal tersebut dikuatkan kesaksian masyarakat yang lain, Arif Kurniawan. Menurutnya bohong bila dikatakan polisi telah menjalankan prosedur tetap dalam menangani aksi masyarakat di Pelabuhan Sape.

“Naif bagi saya ketika Boy Rafli (Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar) bilang sudah sesuai protap. Water Canon, gas air mata tidak digunakan, memang ada upaya negosiasi maupun persuasif, tapi pada saat penembakan yang ada hanya pembantaian,” katanya.

Terkait kasus ini, ada perbedaan versi soal korban yang jatuh dalam aksi di Pelabuhan Sape. Kepolisian mengatakan ada 10 orang kena peluru, namun menurut masyarakat ada 100 orang yang terkena peluru karet dan tajam.

“Kami harap DPR bisa membantu menjelaskan persoalan ini secara objektif dan professional. Termasuk nasib 49 warga masyarakat yang ditahan setelah insiden pembakaran kantor kecamatan,” tukasnya lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×