kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Komnas HAM bentuk tim investigasi kekerasan di Sape, Bima


Minggu, 25 Desember 2011 / 17:27 WIB
ILUSTRASI. Hasil pertandingan M2 Mobile Legends hari ke-3, menuju babak playoff 4 tim tumbang


Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan sejumlah elemen mahasiswa mengecam tindak kekerasan yang dilakukan aparat keamanan saat aksi warga yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) dua hari kemarin.

Aksi damai pemblokiran pelabuhan selama lima hari tersebut berujung bentrok yang menewaskan sedikitnya tiga orang pengunjuk rasa dan beberapa lainnya terluka.

Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, mengatakan, pihaknya telah membentuk tim untuk melakukan investigasi pelanggaran HAM dalam insiden tersebut. "Investigasi baru kami mulai, dan belum menyimpulkan masuk kategori HAM berat atau bukan. Tapi, kami pastikan yang terjadi di Sape ini adalah pelanggaran HAM," kata dia ke KONTAN, Minggu (25/12).

Meskipun dinilai penguasaan pelabuhan Sape dapat mengganggu aktivitas perekonomian dan melanggar secara hukum, namun ia menyesalkan langkah yang diambil kepolisian. Sejatinya, pihak keamanan lebih mengedepankan dialog dengan meminta secara damai agar massa membubarkan diri, daripada mengambil tindak kekerasan dengan aksi penyerangan dan penembakan kepada warga.

Menurutnya, penguasaan pelabuhan merupakan upaya masyarakat dalam meminta perhatian pemerintah setempat agar mencabut izin usaha pertambangan bagi PT Sumber Mineral Nusantara (SMN). "Mereka meminta perhatian pemerintah agar ada negosiasi kepada mereka soal pencabutan izin perusahaan dari Bupati," jelasnya.

Tuntutan pencabutan izin perusahaan tambang tersebut sebenarnya telah lama diserukan masyarakat, yakni sejak April silam. Aksi unjuk rasa saat itu sempat menimbulkan bentrokan, namun tidak menimbulkan korban jiwa. "Hanya terjadi penangkapan dan penembakan. Kami pada saat itu memberikan peringatan kepada polisi agar tidak melakukan tindakan kekerasan dalam aksi lanjutan," kata dia.

Sayangnya, menurut Ifdhal, peringatan yang disampaikan pihaknya tidak direspon pihak kepolisian dalam aksi massa yang digelar pada 24 Desember silam. Untuk mengosongkan pelabuhan Sape, aparat keamanan justru mengedepankan kekerasan dengan senjata untuk membubarkan sejumlah massa.

Atas kejadian tersebut, pihaknya meminta Mabes Polri segera melakukan penyelidikan internal terkait kebijakan yang diambil Kepolisian Daerah (Polda) NTB.

Aksi mahasiswa

Sementara, sejumlah elemen mahasiswa menyatakan sikap mengutuk aksi penembakan tersebut dan meminta pemerintah mengusutnya. Bahkan, pada Senin (26/12) dan Selasa (26/12) ini sejumlah elemen akan bergabung untuk menggelar aksi unjuk rasa secara serentak di berbagai kota.

Sekjen DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Rudi Ismawan, mengatakan, telah melakukan koordinasi dengan kader IMM di seluruh daerah agar turut menggelar aksi serupa sebagai bentuk kepedulian bagi masyarakat Bima.

"Kami menuntut agar pemerintah tegas mengusut kasus-kasus usaha tambang lyang merusak lingkungan, serta indikasi keterlibatan gubernur dan bupati terkait pemberian izin," kata dia.

Achmad Muslim, Ketua OKP Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bilang, masyarakat Bima hanya menginginkan wilayah permukimannya bebas limbah dan memiliki air yang bersih. Karena itu, masyarakat mendesak pemda setempat mencabut izin usaha pertambangan PT SMN karena dekat dengan perumahan warga.

"Pemerintah harus mengakui bahwa kasus ini merupakan kesalahan dan bentuk pembelaan terhadap pemodal atau perusahaan asing. Kejadian serupa bakal terjadi tidak hanya akan terjadi di Sape, tapi di wilayah lain yang menjadi kawasan ekploitasi pertambangan," kata Achmad.

Adanya insiden berdarah tersebut, pemerintah seharusnya lebih mencermati wilayah izin baik pertambangan maupun perkebunan agar tidak terjadi konflik serupa dengan masyarakat. "Kalau perlu ada moratorium izin usaha pertambangan. Serta, ada pembekalan ulang bagi petugas polisi bahwa tugas mereka adalah pengayom," timpal Ketua Umum PB Himpunan Mahasiwa Islam (HMI) Alto Makuralto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×