Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Kehadiran Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3) ternyata masih menjadi momok bagi aktivitas para petani.
UU yang belum lama disahkan atau tepatnya pada 9 Juli 2013 lalu, menghambat petani untuk memanfaatkan tanah negara dan berproduksi.
Atas dasar tersebut, kalangan organisasi atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang konsen di sektor pertanian akan melakukan gugatan uji materi UU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan petani ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemohon dari uji materi ini diantaranya Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Human Right Comitte for Social Justice (IHCS), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA).
Pendaftaran gugatan uji materi UU P3 ke MK akan dilakukan pada akhir September 2013 atau tidak jauh dengan waktu perayaan Hari Tani Nasional pada 24 September nanti.
Ketua IHCS, Gunawan, mengatakan, poin mekanisme sewa kepada petani terhadap tanah milik negara telah melanggar Pasal 33 UUD 1945 terkait kekayaan alam harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. "Tanah dikuasai negara namun bukan milik negara, kewajiban negara hanya untuk mengelola dan mengawasinya," ujarnya di Jakarta, Kamis (19/9).
Menurut Gunawan, ditel poin yang akan digugat adalah Pasal 59, 69,70, dan 71 UU P3. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang mekanisme penyewaan tanah milik negara dan kewajiban bergabung ke organisasi petani yang sudah ditentukan.
Bunyi Pasal 59 UU P3 yaitu, "Kemudahan bagi Petani untuk memperoleh lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan."
Memojokkan peran petani
Gunawan mengatakan, ketentuan negara menyewakan tanah negara ke petani menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia beralasan, pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, negara tidak dibolehkan menyewakan tanah kepada masyarakat termasuk petani.
"Seharusnya jika diperbolehkan dimanfaatkan bisa memberikan hak milik atau hak pakai, jangan ada istilah sewa menyewa tanah kepada petani," tegasnya.
Adanya poin sewa tanah akan mendorong semakin banyaknya praktik sewa tanah ilegal, lintah darat, dan makelar tanah. Hal ini malah akan semakin memojokkan peran petani dalam membantu negara meningkatkan produksi komoditas pertanian atau pangan yang semakin berkurang.
Gunawan juga menolak keberadaan Pasal 69, 70, dan 71 UU P3, di mana petani dipaksa untuk bergabung ke dalam organisasi petani tertentu. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 tentang kebebasan untuk berserikat.
Dalam Pasal 70 ayat 1 UU P3 disebutkan kelembagaan Petani yang harus diikuti oleh petani di antaranya, Kelompok Tani(Poktan), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional. Pada Pasal 71 UU P3 juga ditekankan petani berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani tersebut.
"Ini akan menimbulkan diskriminasi terhadap organisasi petani lainnya yang sudah lama berdiri, petani yang berada di luar organisasi yang telah ditentukan tidak akan menerima bantuan dan pemberdayaan dari pemerintah," ujarnya.
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Yakub, mengatakan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah masih belum sanggup untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mewujudkan swasembada pangan.
"Jumlah para petani semakin berkurang dan ini membuktikan ada masalah dalam perekonomian negara dimana lahan produksi semakin berkurang serta konflik agraria terus terjadi," ujarnya.
Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei 2013 jumlah keluarga tani sebanyak 26,13 juta keluarga atau berkurang 500.000 keluarga setiap tahunnya sejak tahun 2003.
Agar lahan produktif
Sebaliknya, pada Mei 2013 jumlah perusahaan sektor pertanian menjadi 5.486 perusahaan naik dari tahun 2003 yang sebanyak 4.011 perusahaan.
Menurut Achmad, sepanjang tahun 2012 negara telah mengeluarkan dana sebanyak Rp 125 triliun untuk melakukan impor seluruh komoditas pangan seperti daging, gandum, beras, kedelai, dan garam. Khusus untuk komoditas kedelai pada periode Januari-Juli 2013 total impor sebanyak 1,1 juta ton atau bernilai Rp 6,7 triliun.
Direktur Jenderal(Dirjen) Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian(Kemtan) Sumarjo Gatot Irianto, mengatakan, poin hak sewa yang diberikan kepada petani bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian.
"Pemerintah berkomitmen tingkatkan produksi, petani bisa menyewa lahan pemerintah tanpa harus memiliki. Ini agar lahannya produktif," ujarnya.
Menurut Gatot, penerapan hak pakai tidak jauh berbeda dengan Hak Guna Usaha(HGU), di mana jika tidak ada pengawasan akan rawan untuk disalahgunakan, seperti dipindahtangankan. "Kalau disewa petani akan lebih produktif karena berbasis kerja dan kinerja, kalah hak pakai bisa diagunkan serta uangnya bukan untuk petani," ujarnya.
Terkait rencana gugatan uji materi ke MK, Gatot enggan untuk menanggapinya. Ia menilai, pemerintah tidak ingin berandai-andai dan berkomitmen menjalankan kebijakan yang ada.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News