Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron membantah, penghapusan ketentuan Bank Pertanian dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menunjukkan lemahnya keberpihakan pemerintah dan DPR terhadap para petani.
Menurutnya, perubahan tersebut semata untuk menemukan terobosan taktis lain yang lebih mudah diaplikasikan. Bank Pertanian memang konsep ideal yang strategis membantu petani mendapatkan kemudahan bantuan permodalan dari bank agar usaha tani bisa berkembang.
Sayangnya, konsep ini ternyata sulit diaplikasikan di lapangan dalam waktu dekat. "Kami tidak ingin membuat aturan yang tidak mungkin dilaksanakan," kata Herman kepada Kontan, Senin, (15/7).
Dia menambahkan, membentuk bank adalah sebuah langkah yang sangat rumit. Ada beberapa persyaratan seperti keamanan finansial dalam batas tertentu yang setidaknya harus bisa terpenuhi.
"Padahal kita tahu, usaha pertanian ini kan risikonya tinggi dan keuntungannya tidak signifikan jika luas lahannya tidak memenuhi skala keekonomian," ujar politisi dari Partai Demokrat tersebut.
Oleh sebab itu, Herman menjelaskan, dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, setiap bank BUMN dan BUMD diwajibkan berkontribusi memberikan bantuan pembiayaan bagi petani.
Memang, tidak ada sanksi bagi bank yang membangkang aturan tersebut. "Namun, itu kan sudah diwajibkan UU. Jadi secara moral dan etik pasti wajib untuk dipatuhi siapa pun," kilah pria yang juga Ketua Panja RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tersebut.
Sebagaimana diketahui, tidak diadopsinya Bank Pertanian dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani mendapat kritik dari Khudori, Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014).
Menurutnya, Bank Pertanian menjadi instrumen strategis untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan yang semakin parah dalam beberapa tahun terakhir.
Mengacu data Dewan Ketahanan Pangan, pada tahun 1983, indeks Gini kepemilikan tanah mencapai 0,50. Angka ini meningkat pada tahun 2003, indeks Gini mencapai 0,72.
Selain itu, Khudori menambahkan, 56% aset nasional dikuasai 0,2% penduduk (440.000 orang). Dari konsentrasi aset tersebut, 62-87% berupa tanah. "Sementara itu 49,5% petani di Jawa dan 18,7% petani luar Jawa tak memiliki tanah," kata Khudori.
Oleh sebab itu, Khudori mendesak pemerintah merevisi UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Menurutnya, Bank Pertanian harus menjadi bentuk yang diakui negara selain Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News