Reporter: Leni Wandira | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA - Koalisi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) menolak tegas pemberlakuan Revisi Kedua Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sebab, pembahasan revisi UU ITE oleh pemerintah dan DPR RI selama ini dinilai telah mengabaikan partisipasi publik. Apalagi, beleid terbaru ini tetap melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2 Januari 2024 telah menandatangani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Beleid ini juga diundangkan pada 2 Januari 2024.
Artinya ditandanganinya revisi UU ITE jilid II oleh Presiden Jokowi menandai sah dan berlakunya beleid tersebut di Indonesia.
Koalisi Serius mengungkapkan bahwa revisi UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses.
"Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik untuk mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia," ujar Koalisi Serius dalam media rilis, Kamis (4/1).
Koalisi Serius menilai sejak awal pemerintah minim mengikutsertakan pengawasan publik terhadap revisi UU ITE Jilid Dua tersebut.
"Kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia," ungkap Koalisi Serius.
"Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, Koalisi menemukan bahwa perubahan undang-undang ini masih mempertahankan masalah lama," sambung mereka.
Pasal-pasal bermasalah itu antara lain Pasal 27 yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil; Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.
DPR bersama pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang.
"Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran," jelasnya.
Pasal tersebut antara lain:
Pasal 27B ayat (1) berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:
a. Memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,
b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
Pasal 2B ayat (2) berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:
a. Memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,
b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
Selain itu, ada juga pasal 28 ayat 3 dan pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. Pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini.
Pasal 28 ayat 3 berbunyi Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.
Selain pasal-pasal pemidanaan, hasil revisi kedua UU ITE masih mempertahankan Pasal 40 yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan melanggar hukum.
Melihat berbagai masalah tersebut, yang masih eksis pada revisi kedua UU ITE, maka Koalisi Serius menyatakan:
1. Menolak dengan tegas pengundangan Revisi Kedua UU ITE oleh DPR RI karena telah mengabaikan partisipasi publik bermakna, serta terus melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM lainnya;
2. Mendesak pemerintah untuk memastikan implementasi UU No.1/2024 agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis dan korban kejahatan yang sesungguhnya.
3. Mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menerapkan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap pengambilan keputusan.
Koalisi Serius Revisi UU ITE meliputi: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Kemudian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Lintas Feminist Jakarta (Jakarta Feminist), Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
Selanjutnya Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI), Remotivi, Rumah Cemara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), serta Yayasan Perlindungan Insani (Protection International).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News