kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.095.000   7.000   0,34%
  • USD/IDR 16.417   -75,00   -0,45%
  • IDX 7.854   106,16   1,37%
  • KOMPAS100 1.101   16,96   1,56%
  • LQ45 805   9,90   1,25%
  • ISSI 268   3,89   1,47%
  • IDX30 417   5,18   1,26%
  • IDXHIDIV20 484   5,68   1,19%
  • IDX80 122   1,41   1,17%
  • IDXV30 133   1,64   1,25%
  • IDXQ30 135   1,48   1,11%

Uang Pemerintah yang Disimpan di BI Kian Menipis, Masih Aman?


Minggu, 14 September 2025 / 14:39 WIB
Uang Pemerintah yang Disimpan di BI Kian Menipis, Masih Aman?
ILUSTRASI. (KONTAN/Cheppy A. Muchlis). Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang tersimpan di Bank Indonesia (BI) semakin menipis. Ini kata Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia ?


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang tersimpan di Bank Indonesia (BI) semakin menipis.

Sebagaimana diketahui, SAL pemerintah saat ini mencapai Rp 440 triliun. Diantaranya, akan digunakan Rp 85,6 triliun untuk menutup defisit tahun ini, Rp 16 triliun untuk pembiayaan Koperasi Desa Merah Putih, dan Rp 200 triliun disalurkan ke 5 bank plat merah untuk melonggarkan likuiditas. Sehingga, sisa SAL diperkirakan mencapai Rp 138,4 triliun.

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, secara nominal sisa SAL tersebut memang masih signifikan, namun jika dibandingkan dengan total belanja negara yang mencapai Rp 3.621,3 triliun triliun tahun ini, porsinya memang relatif kecil, sekitar 4%.

Baca Juga: Emiten Batubara Rajin Diversifikasi Bisnis, Begini Pandangan Analis

“Artinya, SAL lebih berfungsi sebagai bantalan fiskal ketimbang sumber utama pembiayaan,” tutur Yusuf kepada Kontan, Minggu (14/9/2025).

Yusuf menambahkan, dalam jangka pendek, posisi SAL tersebut masih cukup aman untuk menjaga kelancaran cash flow alias arus kas pemerintah. Misalnya saat penerimaan pajak belum masuk penuh sementara belanja tetap harus berjalan.

Akan tetapi, bantalan yang terbatas ini membuat ruang fiskal pemerintah menjadi lebih sempit jika terjadi gejolak eksternal, seperti kenaikan suku bunga global, fluktuasi harga komoditas, atau perlambatan ekspor.

Artinya, kata Yusuf, jika kondisi kas pemerintah menipis, opsi yang paling mungkin ditempuh adalah memperbesar penerbitan surat utang negara (SBN).

“Konsekuensinya, biaya utang bisa naik seiring kenaikan yield, dan ada potensi crowding out bagi sektor swasta,” ungkapnya.

Sejalan dengan itu, utang juga diperkirakan semakin membengkak, terutama jika penerimaan negara tidak sekuat perkiraan atau biaya refinancing alias pembiayaan kembali utang jatuh tempo meningkat, meskipun pada saat yang sama pemerintah masih memiliki ruang untuk menjaga rasio utang dalam batas aman.

Meski tak serta merta memperlebar defisit APBN, Yusuf menyebut, pemerintah akan kehilangan sumber pendanaan alternatif di luar penerbitan surat utang.

Menurutnya, ketika pemerintah membutuhkan pembiayaan untuk menjalankan program belanja, pilihan yang tersedia menjadi terbatas. Diantaranya, menyesuaikan belanja atau kembali menerbitkan utang baru.

“Dengan demikian, fleksibilitas fiskal semakin sempit karena saldo alternatif pendanaan SAL berkurang akibat dialihkan untuk membiayai program pemerintah lainnya,” tandasnya.

Baca Juga: Suntikan Likuiditas Rp 200 Triliun ke Bank, Akankah Dorong Pertumbuhan Ekonomi?

Selanjutnya: Pembiayaan Emas di CIMB Niaga Syariah Sentuh Rp 1 Triliun per Juli

Menarik Dibaca: Ini 10 Provinsi dengan UMR Terendah di Indonesia & Strategi Pintar Mengatur Gaji

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Business Contract Drafting GenAI Use Cases and Technology Investment | Real-World Applications in Healthcare, FMCG, Retail, and Finance

[X]
×