Reporter: Yudo Widiyanto |
JAKARTA. Penundaan penerapan bea masuk atas produk pangan sesuai PMK nomor 241 tahun 2010 belum membuat pengusaha puas. Pasalnya dalam PMK 241 terdapat 2.164 barang modal dan mesin di luar pangan yang dikenakan tarif sebesar 0-5%.
Artinya masih ada beban yang harus ditanggung industri non pangan yakni manufaktur di seluruh Indonesia. “Kami ingin semuanya dihapus, tidak hanya pangan saja," tutur Ade Sudrajad Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Rabu (26/1).
Sebelumnya pemerintah telah menghapus 57 pos tarif dalam PMK 241. Penghapusan pos tarif pangan tersebut terkait inflasi dan suplai pangan dalam negeri. Karena hanya pangan, bea dan cukai masih menagih ribuan pos tarif impor dari barang modal dan permesinan.
Padahal menurut Wakil Sekjen Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky M. Sibarani berlakunya PMK 241 pada 22 Desember tahun lalu terkesan tanpa sosialisasi. "Kami nilai aturan tersebut cacat hukum, pengusaha tidak dilibatkan," tegasnya.
Bahkan Yeane Keet, Wakil Sekjen Federasi Gabungan Elektronik (Gabel) sudah menyampaikan 218 HS barang dalam PMK 241 kepada Kementerian Perindustrian untuk ditinjau ulang.
Daftar HS barang yang mesti ditinjau ulang misalnya mesin pompa udara, mesin cetak fotokopi, mesin cuci dan mesin pengering, mesin pengolah data otomatis, mesin pembersih (vacuum cleaner), mesin apparatus isyarat suara seperti bel dan alarm, lampu pijar, instrumen pengukur volate dan lainnya. "Kami sudah ajukan daftar yang berdampak langsung dengan kami," tuturnya.
Menurut Yeane kenaikan bea masuk untuk bahan atau komponen dan barang modal industri justru menghambat orang untuk investasi. Padahal beberapa produsen elektronik sudah berencana membeli mesin-mesin baru.
Bahkan sejumlah rencana seperti relokasi pabrik, dan rencana investor asing yang akan masuk ke dalam negeri sempat tertunda."Pemerintah sama sekali tidak peduli, kami menolak dan PMK 241 harus ditinjau ulang," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News