Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akibat pandemi virus corona, utang pemerintah semakin tebal, sementara ekonomi terpantau loyo. Alhasil hingga Januari 2021 rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 40,28%.
Hanya dalam sebulan angka tersebut telah penambah 1,6% dari posisi ratio utang pemerintah terhadap PDB di akhir 2020 yakni sebesar 38,68%. Tahun lalu, karena corona, rasio utang telah bertambah 8,45% dalam setahun. Namun, pemerintah optimistis pembalikan ekonomi pada 2021 akan mempersempit peningkatan ratio utang.
Direktur Pengelolaan, Pembiayaan, dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Luky Alfirman, mengatakan, dengan mencermati perkembangan fiskal yang ekspansif dan pertumbuhan ekonomi yang mulai meningkat, hingga akhir tahun ini diproyeksikan rasio utang terhadap PDB ditargetkan berada di kisaran 41% sampai 43%.
Ia menyampaikan, ada dua cara agar ratio utang terhadap PDB tidak meningkat setinggi tahun lalu. Pertama, mengoptimalkan penerimaan negara dan kedua, percepatan belanja untuk mengatasi pandemi serta pemulihan ekonomi. Pendapatan negara diramal bakal on the track seiring peningkatan aktivitas ekonomi dalam mendorong pertumbuhan.
Baca Juga: Disokong pinjaman dan penerimaan pajak, cadev Februari 2021 capai US$ 138,8 miliar
Adapun perkembangannya, pada bulan lalu realisasi penerimaan negara sebesar Rp 100,1 triliun, kontraksi 4,8% year on year (yoy). Angka tersebut setara dengan 5,7% dari outlook penerimaan pada akhir 2021 sejumlah Rp 1.743,6 triliun.
Sementara, belanja negara bulan lalu tembus Rp 145,8 triliun, melonjak 4,2% yoy. Alhasil, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada Januari lalu sebesar Rp 45,7 triliun. Sehingga, pembiayaan anggaran menjadi Rp 165,9 triliun, tumbuh 40,7% yoy.
Besarnya pembiayaan di bulan pertama tahun ini disebabkan keberlanjutan dampak pandemi yang mengharuskan pemerintah mempertebal belanja kesehatan, perlindungan sosial, usaha mikro kecil menengah (UMKM) sektoral dan pemerintah daerah (pemda), dan korporasi. Sebab, pada Januari 2020 pandemi belum menjadi momok perekonomian dalam negeri.
Kedua, upaya menekan pembiayaan utang. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan dukungan Bank Indonesia (BI) sebagai last resort melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 1. Kemudian memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan non-utang, yakni pemanfaatan sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berkenaan atau SILPA.
Baca Juga: PTUN nyatakan gugatan Bambang Trihatmodjo terhadap Menteri Keuangan tidak diterima
Selain itu, melalui pembiayaan inovatif lainnya, seperti skema public-private partnership (KPBU) dan blended financing.“Pembiayaan utang dikelola secara pruden, fleksibel dan oportunistik. Upaya tersebut diharapkan dapat meringankan beban APBN dan menambah ruang fiskal untuk belanja produktif lainnya,” ujar Luky kepada Kontan.co.id, Sabtu (6/3).
Adapun, berdasarkan SKB I 16, hingga 4 Februari 2021, BI telah melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana sebesar Rp 35,7 triliun. Secara rinci, SBN tersebut dibeli BI dari pemerintah dengan mekanisme non-competitive bidder sebesar Rp 13,11 triliun dan mekanisme green shoe option (GSO) Rp 22,61 triliun.
Untuk SILPA pada APBN 2021 hingga Januari totalnya mencapai Rp 120,2 triliun. Luky mengatakan, dari posisi SILPA bulan lalu sekitar Rp 80 triliun hingga Rp 100 triliun akan digunakan pemerintah untuk belanja, sehingga bisa tekan pembiayaan utang.
Sementara itu, dari sisi pembiayaan investasi, Luky menyampaikan pemerintah akan mengupayakan berjalan efektif yang ditujukan untuk dipercepat dalam mendukung pemulihan sektor riil.
Selanjutnya: Diskon PPnBM Mobil Bukan untuk Menebalkan Margin APM, Implementasi Harus Dipantau
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News